RUU TNI: Menyeimbangkan Peran Militer dan Supremasi Sipil
RUU TNI yang tengah dibahas DPR RI bertujuan memperbarui UU No. 34 Tahun 2004, menimbulkan perdebatan tentang perluasan peran TNI di jabatan sipil dan pentingnya menjaga supremasi sipil.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah dibahas DPR RI periode 2024-2029. RUU ini, yang telah dibahas pada periode sebelumnya, kini menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, didorong untuk segera disahkan. Komisi I DPR RI, yang bertanggung jawab atas urusan pertahanan, memimpin pembahasan RUU ini, mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk pakar, akademisi, dan LSM. Perubahan signifikan dalam RUU ini mencakup kedudukan TNI dalam ketatanegaraan, perpanjangan masa dinas prajurit, dan pengaturan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil. Pembahasan ini penting karena mencegah potensi kebangkitan 'Dwifungsi' TNI dan memastikan supremasi sipil tetap terjaga.
Pembahasan RUU TNI ini telah memicu perdebatan terkait perluasan peran TNI dalam jabatan sipil. Istilah 'Dwifungsi', yang diasosiasikan dengan perluasan penempatan prajurit TNI di jabatan sipil, kembali mencuat. Hal ini terutama karena beredarnya draf RUU sebelumnya yang menyebutkan penempatan TNI di jabatan sipil sesuai kebutuhan Presiden. Oleh karena itu, perdebatan ini sangat krusial dalam menjaga keseimbangan antara peran militer dan pemerintahan sipil.
Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif TNI. Namun, perluasan ini hanya mencakup institusi yang sudah diisi oleh prajurit aktif, terutama di bidang keamanan dan penegakan hukum. Dengan demikian, RUU ini perlu dikawal ketat agar tidak melampaui batas dan tetap menjaga supremasi sipil. Pembahasan RUU TNI di Komisi I DPR RI masih berlangsung dan belum mencapai tahap final.
Perluasan Jabatan Sipil TNI: Antara Perluasan dan Pembatasan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI saat ini membatasi 10 bidang jabatan yang dapat diduduki prajurit aktif. Menhan Sjafrie mengusulkan penambahan menjadi 15 jabatan, termasuk di bidang kelautan dan perikanan, BNPB, BNPT, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung. Beberapa institusi seperti BNPT, BNPB, dan Bakamla telah lama diisi oleh prajurit aktif, bahkan sebelum UU TNI disahkan. Penambahan jabatan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Militer (Jampidmil) juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah lama berkolaborasi dengan TNI. RUU TNI perlu menata dan memperjelas jabatan-jabatan yang dapat diisi oleh TNI aktif. Pembatasan jabatan ini penting untuk menjaga profesionalisme TNI dan kepatuhan pada aturan yang berlaku. Prajurit yang mengisi jabatan sipil harus ahli dan mumpuni untuk meningkatkan kinerja lembaga terkait.
Perluasan ini harus diimbangi dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dan menjaga agar TNI tetap fokus pada tugas utamanya, yaitu pertahanan negara. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi dan penempatan prajurit di jabatan sipil juga sangat penting untuk mencegah konflik kepentingan dan menjaga integritas TNI.
Menjaga Supremasi Sipil dalam Era Modern
TNI telah memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia, baik dalam masa-masa sulit maupun masa pembangunan. Namun, pengalaman masa lalu, khususnya era Dwifungsi ABRI, memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga supremasi sipil. RUU TNI harus memastikan TNI tetap berada dalam koridornya, bahkan dengan adanya lembaga-lembaga baru. Hal ini penting untuk menjaga relevansi UU TNI di setiap zaman.
Prajurit TNI aktif yang bertugas di lembaga sipil harus tunduk pada aturan dan administrasi lembaga tersebut. RUU TNI harus bertujuan mengoptimalkan profesionalisme TNI tanpa mengorbankan supremasi sipil. Dengan demikian, RUU TNI dapat memperkuat pertahanan negara tanpa mengorbankan prinsip demokrasi.
Tujuan utama RUU TNI adalah untuk memperkuat sistem pertahanan negara dan menjaga profesionalisme TNI. Namun, hal ini harus sejalan dengan prinsip supremasi sipil dan tidak boleh mengarah pada dominasi militer dalam pemerintahan. Oleh karena itu, proses pembahasan RUU TNI harus melibatkan berbagai pihak dan memperhatikan masukan dari masyarakat agar menghasilkan UU yang seimbang dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
RUU TNI harus memastikan bahwa TNI tetap menjadi kekuatan pertahanan yang profesional, modern, dan bertanggung jawab, serta tetap berada di bawah kendali pemerintah sipil. Dengan demikian, RUU TNI dapat menjadi landasan yang kuat bagi TNI untuk berkontribusi dalam pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa depan.