DPR Pastikan Revisi UU TNI Bukan Kembalinya Dwifungsi ABRI
Anggota Komisi VI DPR RI menegaskan revisi UU TNI tidak mengembalikan dwifungsi ABRI, justru membatasi keterlibatan TNI di jabatan sipil, memastikan TNI tetap fokus pada tugas utamanya menjaga pertahanan dan keamanan negara.

Jakarta, 20 Maret 2024 - Anggota Komisi VI DPR RI, M. Sarmuji, memberikan klarifikasi terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia menekankan bahwa revisi tersebut sama sekali tidak bermaksud mengembalikan sistem dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Perubahan UU ini justru bertujuan untuk membatasi keterlibatan TNI dalam jabatan sipil, memastikan fokus TNI tetap pada tugas pokoknya.
Sarmuji menyatakan, "Dwifungsi TNI tidak mungkin kembali. RUU TNI justru memberi limitasi anggota TNI masuk jabatan sipil. Posisi yang bisa diduduki TNI aktif hanya berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI; di luar itu, TNI harus pensiun jika memang masuk jabatan sipil." Pernyataan ini sekaligus membantah spekulasi yang beredar mengenai kemungkinan kembalinya sistem dwifungsi.
Wakil rakyat yang membidangi perdagangan, kawasan perdagangan dan pengawasan persaingan usaha serta BUMN ini mengungkapkan penolakannya terhadap gagasan kembali ke masa lalu, di mana anggota TNI menduduki berbagai jabatan sipil seperti lurah, bupati, wali kota, gubernur, pimpinan perusahaan negara, bahkan rektor tanpa pensiun. Ia menegaskan bahwa revisi UU TNI menekankan prajurit TNI yang ingin menduduki jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Revisi UU TNI
Sarmuji menjelaskan bahwa penempatan TNI di kementerian/lembaga bertujuan untuk mengoptimalkan potensi mereka, terutama dalam bidang-bidang yang membutuhkan keahlian khusus seperti penguatan lembaga siber dan sandi negara, serta penanggulangan terorisme. Ia memberikan contoh kolaborasi antara Polri dan TNI dalam memperkuat ketahanan nasional menghadapi ancaman terorisme dari dalam dan luar negeri.
Lebih lanjut, Sarmuji menyatakan bahwa revisi UU TNI sebenarnya hanya memberikan payung hukum terhadap praktik yang telah berjalan selama ini. Beberapa lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) telah melibatkan TNI, namun belum memiliki payung hukum yang jelas. Revisi ini bertujuan untuk memperkuat landasan hukum tersebut.
Ia memastikan bahwa revisi UU TNI tidak mengubah norma dan pengaturan yang menjadi amanah reformasi 1998. Tugas utama TNI sebagai garda terdepan dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara tetap menjadi prioritas. Larangan TNI untuk berpolitik praktis dan berbisnis juga tetap berlaku. "Fraksi Golkar akan menjaga amanah reformasi yang diperjuangkan dengan berdarah-darah," tegas Sarmuji.
Perubahan dalam RUU TNI dan Jaminan Supremasi Sipil
Sarmuji berharap masyarakat tidak perlu khawatir dengan revisi UU TNI. Ia menekankan bahwa revisi ini justru membatasi institusi TNI, sekaligus meningkatkan profesionalisme prajurit dan memastikan supremasi sipil. RUU yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025 mencakup beberapa perubahan, termasuk mengenai kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain perang, penambahan jabatan sipil yang dapat diisi TNI aktif, dan perpanjangan masa dinas keprajuritan atau batas usia pensiun.
Salah satu perubahan signifikan terdapat pada Pasal 47, yang menambah jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif dari 10 menjadi 14 bidang. Namun, penting untuk diingat bahwa di luar 14 bidang tersebut, TNI aktif harus mundur atau pensiun dari dinas keprajuritan.
Kesimpulannya, revisi UU TNI bertujuan untuk memperjelas dan memperkuat peran TNI dalam konteks kekinian, tanpa mengorbankan supremasi sipil dan tugas pokok TNI dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Revisi ini juga memastikan profesionalisme TNI tetap terjaga dan terarah.