Vaksin TBC: Antara Harapan Global dan Kemandirian Nasional Indonesia
Indonesia, dengan kasus TBC tertinggi kedua di dunia, berupaya mencapai kemandirian vaksin dan mengatasi tantangan global dalam eliminasi TBC pada 2030 melalui riset, kolaborasi, dan strategi nasional.

Indonesia, negara dengan kasus tuberkulosis (TBC) tertinggi kedua di dunia setelah India, tengah berjuang keras dalam upaya eliminasi penyakit mematikan ini pada tahun 2030. Perjuangan ini tidak hanya melibatkan aspek kesehatan masyarakat semata, tetapi juga menyangkut strategi geopolitik dan kemandirian nasional dalam produksi vaksin. Artikel ini akan mengulas tantangan, strategi, dan peran penting kemandirian Indonesia dalam menghadapi epidemi TBC.
Data tahun 2025 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan: 1,06 juta kasus aktif TBC dan 134.000 kematian setiap tahunnya, setara dengan 14 kematian per jam. Distribusi kasus juga menunjukkan kesenjangan, dengan 496 ribu kasus pada laki-laki, 359 ribu pada perempuan, dan 135 ribu pada anak-anak. Keberhasilan pengobatan TBC resistan obat (TBRO) juga masih jauh dari target global WHO, hanya mencapai 51 persen pada tahun 2022.
Situasi ini menyoroti pentingnya kemandirian Indonesia dalam produksi vaksin. Ketergantungan pada negara lain dalam hal vaksin tidak hanya berisiko menciptakan ketimpangan akses, tetapi juga dapat membatasi kedaulatan Indonesia dalam menentukan kebijakan kesehatan nasional. Oleh karena itu, pengembangan kapasitas produksi vaksin dalam negeri menjadi kunci dalam upaya penanggulangan TBC yang efektif dan berkelanjutan.
Vaksin BCG dan Uji Klinis Vaksin Baru
Vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG), meskipun telah lama digunakan, memiliki efektivitas terbatas pada remaja dan dewasa. WHO bahkan tidak merekomendasikan BCG untuk orang dewasa karena efektivitasnya yang rendah dalam mencegah TBC paru pada kelompok usia tersebut. Oleh karena itu, pengembangan vaksin baru menjadi sangat krusial.
Saat ini, vaksin M72/AS01E yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline dan didanai oleh Gates Foundation tengah menjalani uji klinis fase 3 di Indonesia. Uji klinis yang melibatkan 20 ribu partisipan ini menunjukkan hasil awal yang menjanjikan, dengan efektivitas mencapai 50 persen dalam mencegah perkembangan TBC aktif selama tiga tahun. Namun, peluncuran vaksin ini diperkirakan baru pada tahun 2028.
Peran Gates Foundation dalam mendanai uji klinis ini sangat penting, namun kemandirian produksi vaksin nasional tetap menjadi prioritas utama. Bio Farma, produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara, berpotensi menjadi ujung tombak produksi vaksin TBC berbasis protein rekombinan jika uji klinis M72/AS01E berhasil. Kolaborasi antara Bio Farma, Gates Foundation, dan pemerintah Indonesia menjadi langkah strategis untuk menjamin akses vaksin yang merata.
Meskipun teknologi mRNA terbukti efektif untuk COVID-19, pengembangan teknologi ini untuk TBC belum menjadi prioritas di Indonesia. Fokus saat ini masih pada vaksin berbasis protein rekombinan. Langkah strategis selanjutnya adalah memperkuat riset lokal melalui kolaborasi universitas dan lembaga penelitian.
Strategi Nasional dan Peran Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah menetapkan program eliminasi TBC sebagai prioritas nasional. Integrasi vaksinasi TBC dalam Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan alokasi Dana Desa untuk program skrining, dukungan nutrisi, dan rehabilitasi rumah pasien TBC merupakan langkah nyata dalam upaya ini.
Kampanye berbasis komunitas juga difokuskan untuk mengurangi stigma sosial terhadap pasien TBC dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya tatalaksana dini. Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatasi tantangan kompleks yang dihadapi dalam penanggulangan TBC.
Namun, keberhasilan program ini bergantung pada sinergi antara riset lokal, dukungan filantropi global, dan strategi nasional yang efektif. Kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak menjadi kunci dalam mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030.
Kesimpulan
Perjuangan Indonesia dalam mengatasi TBC merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen dan kolaborasi yang kuat. Kemandirian dalam produksi vaksin, di samping dukungan global dan strategi nasional yang efektif, akan menentukan keberhasilan eliminasi TBC pada tahun 2030. Dengan sinergi yang tepat, target tersebut bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai.