Warga Blitar Desak Penutupan Tambang Pasir: Air Menjadi Coklat, Jalan Rusak Parah!
Puluhan warga dari empat kecamatan di Blitar menggelar unjuk rasa, menuntut penutupan tambang pasir di Kaliputih yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur.

Blitar, 13 Maret 2024 - Puluhan warga Blitar dari empat kecamatan, yakni Gandusari, Garum, Kanigoro, dan Talun, menggelar aksi demonstrasi pada Kamis (13/3) lalu. Mereka mendesak penutupan tambang pasir galian C di Kaliputih, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. Aksi ini dipicu dampak negatif tambang yang signifikan terhadap lingkungan dan kehidupan warga sekitar.
Aksi ini diprakarsai oleh warga yang merasakan langsung dampak buruk aktivitas penambangan pasir tersebut. Mereka mengeluhkan berbagai masalah, mulai dari kerusakan infrastruktur hingga pencemaran sumber air bersih. Perwakilan warga Desa Sumberagung, Renal, mewakili keresahan masyarakat yang terdampak.
Berbagai dampak negatif dirasakan, termasuk berkurangnya debit air irigasi untuk pertanian hingga kerusakan saluran irigasi yang mengakibatkan sawah mengering. Selain itu, kualitas air bersih juga menurun drastis, berubah warna menjadi cokelat dan tidak layak konsumsi. Hal ini memaksa warga untuk membeli air minum kemasan.
Dampak Penambangan Pasir terhadap Lingkungan dan Masyarakat
Renal, perwakilan warga Desa Sumberagung, mengungkapkan, "Dampaknya banyak sekali yang dirasakan baik dari petani dan masyarakat biasa yang memanfaatkan air dari sini (Kaliputih). Dari petani itu airnya tidak lagi subur untuk mengaliri sawah, yang keluar itu lumpur." Ia menambahkan bahwa sedimentasi tanah juga menyebabkan berkurangnya debit air.
Kerusakan infrastruktur juga menjadi masalah serius. Jalan-jalan di sekitar tambang rusak parah akibat lalu lalang truk pengangkut pasir. Renal menuturkan, "Transportasi parah, jalannya rusak, juga berdebu, bising. Kalau mau buru-buru tidak bisa. Dalam satu hari rata-rata bisa ratusan lewat bolak balik truknya." Kondisi ini sangat mengganggu aktivitas warga sehari-hari.
Lebih lanjut, Renal menjelaskan bahwa masalah air bersih menjadi yang paling memprihatinkan. Air yang tadinya jernih kini berubah menjadi cokelat keruh dan tidak layak untuk dikonsumsi. "Parahnya air yang dipakai tidak lagi bersih, tidak layak, warnanya cokelat. Warga ada memakai air galon untuk minum," ujarnya.
Total 21 desa di empat kecamatan terdampak, dengan dampak terparah dirasakan di Kecamatan Garum dan Gandusari. Warga juga mempertanyakan proses perizinan tambang yang dinilai kurang transparan dan tidak melibatkan masyarakat.
Tanggapan Pihak Pengelola Tambang
Aditya Putra Mahardika, perwakilan dari CV Barokah Sembilan Empat, pengelola tambang pasir di Kaliputih, menyatakan akan berkoordinasi untuk menyelesaikan masalah ini. Ia mengatakan, "Kami bersikap berkoordinasi dan kami sangat aspiratif dengan menghentikan manajemen lama dan ganti manajemen baru yang lebih humanis dan peka ke masyarakat." Aditya juga menegaskan bahwa perusahaan telah mengantongi izin operasional yang sah.
Meskipun demikian, Aditya menekankan bahwa perusahaan tetap beroperasi sesuai dengan payung hukum yang berlaku. "Pada prinsipnya ancaman, gangguan dan tantangan di tambang legal itu kan ada Undang-undangnya, di situ kami berpacu. Semua berpayung hukum," tegasnya.
Setelah melakukan aksi demonstrasi, warga membubarkan diri. Namun, tuntutan mereka untuk menghentikan operasional tambang pasir tetap ditegaskan.
Perlu adanya evaluasi menyeluruh terkait dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas pertambangan pasir di Blitar. Ke depannya, diharapkan ada keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait perizinan dan operasional tambang agar dampak negatif dapat diminimalisir.