Wujudkan Cita-Cita Kartini: Dukungan Semua Pihak Sangat Penting
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menekankan pentingnya dukungan semua pihak untuk mewujudkan cita-cita RA Kartini dan mengatasi tantangan emansipasi perempuan di Indonesia.

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menekankan pentingnya dukungan dari semua pihak dalam mewujudkan cita-cita RA Kartini dan mengatasi berbagai tantangan dalam memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Lestari dalam diskusi daring bertema "Hari Kartini 2025: Feminis Nusantara dari Masa ke Masa" yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu, 23 April. Ia menilai, perempuan Indonesia masih menghadapi banyak tantangan untuk mencapai kemerdekaan sejati seperti yang dicita-citakan Kartini.
Lestari, atau yang akrab disapa Rerie, menyatakan bahwa masih banyak persoalan mendasar yang dihadapi perempuan Indonesia, seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan. Menurutnya, surat-surat RA Kartini mencerminkan gagasan-gagasan yang progresif untuk kesetaraan gender, akses pendidikan, kebebasan berpikir, dan otonomi perempuan, bahkan di tengah adat istiadat yang berlaku. "Saya pribadi menilai perempuan Indonesia belum merdeka, sebagaimana yang dicita-citakan RA Kartini. Masih banyak persoalan mendasar yang harus dihadapi perempuan, seperti bagaimana menekan angka kematian ibu melahirkan yang terus meningkat di tanah air," tegas Lestari.
Rerie juga menekankan bahwa Kartini dalam surat-suratnya menyatakan bahwa perempuan memiliki potensi dan intelektual yang setara dengan laki-laki, sehingga berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Ia menambahkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mewujudkan cita-cita Kartini. "Mari kita bersama menuntaskan pekerjaan rumah itu," ajaknya.
Tantangan Emansipasi Perempuan Indonesia
Berbagai pihak turut memberikan pandangan mengenai tantangan emansipasi perempuan di Indonesia. Wardiman Djojonegoro, penulis buku Trilogi R.A. Kartini dan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengungkapkan bahwa meskipun populasi perempuan hampir separuh dari total penduduk Indonesia, hanya 50 persen yang bekerja, berbeda dengan laki-laki yang mencapai 90 persen. Ia juga menekankan bahwa surat-surat Kartini menunjukkan beragam cara perjuangan emansipasi, dan peran penting paguyuban perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.
Julia Suryakusuma, penulis dan feminis Pancasila, menyoroti kurangnya pengakuan terhadap pahlawan perempuan selain RA Kartini. Ia mencontohkan Inggit Garnasih, istri Presiden Soekarno, yang juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan. Julia mendorong penulisan sejarah yang lebih komprehensif mengenai perjuangan perempuan Indonesia.
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan, menambahkan bahwa partisipasi perempuan dalam politik dan perencanaan pembangunan masih rendah. Ia menjelaskan bahwa kendala utamanya adalah budaya patriarki dan stigma sosial yang mengakibatkan beban ganda bagi perempuan. Veronica mendorong partisipasi 30 persen perempuan dalam politik dan penghapusan stigma negatif terhadap perempuan.
Pemerintah, lanjut Veronica, telah berupaya memberdayakan perempuan melalui program care economy dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Standarisasi kerja perempuan juga sedang dipersiapkan untuk perlindungan yang lebih menyeluruh. Veronica berharap akan tercipta sistem yang inklusif dan memfasilitasi perempuan untuk mencapai cita-cita mereka.
Kekerasan dan Hukum Adat sebagai Hambatan
Anggota DPRD Provinsi Papua Tengah, Nancy Natalia Raweyai, mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi hambatan utama di Papua, terutama karena masih terikatnya perempuan dengan hukum adat yang belum mendapatkan solusi yang jelas. "Bagaimana kita menggerakkan generasi muda untuk menegakkan emansipasi, bila kepala suku bisa memiliki 20 istri?" tanya Nancy. Ia berharap adanya langkah konkret untuk mengatasi masalah ini.
Kesimpulannya, mewujudkan cita-cita RA Kartini membutuhkan dukungan dan kerja sama dari semua pihak. Tantangan seperti kesenjangan gender, kekerasan terhadap perempuan, dan budaya patriarki masih perlu diatasi secara serius dan komprehensif. Partisipasi aktif perempuan dalam berbagai sektor dan penghapusan diskriminasi menjadi kunci penting dalam mencapai kesetaraan gender yang sejati.