Banjarmasin Darurat Sampah, Wali Kota Belajar Teknologi Insinerator ke Yogyakarta
Wali Kota Banjarmasin, H. Muhammad Yamin HR, mempelajari teknologi insinerator di Pusteklim Yogyakarta untuk mengatasi darurat sampah di Banjarmasin setelah TPAS Basirih ditutup.

Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tengah menghadapi permasalahan serius terkait sampah. Penutupan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Basirih oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI pada 1 Februari 2025 telah membuat Kota Banjarmasin dinyatakan dalam kondisi darurat sampah. Untuk mencari solusi, Wali Kota Banjarmasin, H. Muhammad Yamin HR, beserta Wakilnya, Hj. Ananda, melakukan kunjungan studi banding ke Pusat Teknologi Limbah (Pusteklim) di Yogyakarta pada tanggal 19 Maret 2025. Kunjungan ini bertujuan untuk mempelajari teknologi pengelolaan sampah yang lebih efektif dan ramah lingkungan.
"Kita berkunjung dan berharap bisa mempelajari langsung pengelolaan sampah yang baik di Yogyakarta ini," ujar Wali Kota Yamin saat dikonfirmasi di Banjarmasin. Beliau mengakui bahwa Kota Banjarmasin perlu banyak belajar dari daerah lain yang telah sukses dalam pengelolaan sampah, mengingat kondisi darurat sampah yang tengah dihadapi.
Dengan produksi sampah mencapai 650 ton per hari, penutupan TPAS Basirih berdampak signifikan terhadap penanganan sampah di Banjarmasin. Pembuangan sampah kini bergantung pada TPAS Regional Banjabakula di Banjarbaru, namun kapasitasnya terbatas hanya 200 ton per hari. Situasi ini memaksa pemerintah kota untuk mencari solusi alternatif yang efektif dan berkelanjutan.
Teknologi Insinerator sebagai Solusi?
Salah satu teknologi yang menarik perhatian Wali Kota Yamin adalah insinerator yang diterapkan di Pusteklim Yogyakarta. Insinerator merupakan teknologi pengolahan sampah dengan cara pembakaran pada suhu tinggi, sekitar 850-1000 derajat Celcius. "Kita melihat teknologi insinerator yang ada di sini, apakah nanti bisa dijadikan solusi untuk penyelesaian masalah sampah di Kota Banjarmasin. Kita akan kaji dulu," kata Yamin.
Wali Kota Yamin menjelaskan bahwa teknologi insinerator dianggap efisien dan efektif karena mampu mengurangi volume sampah secara signifikan. Namun, ia juga menekankan pentingnya pemilahan dan pencacahan sampah sebelum proses pembakaran. "Nah, setelah pemilahan dan pencacahan, baru alat ini digunakan untuk mendaur ulangnya. Nah, dari hasil itu limbahnya juga bisa bermanfaat," jelasnya.
Meskipun teknologi insinerator menjanjikan, Wali Kota Yamin menegaskan bahwa penerapannya di Banjarmasin masih perlu dikaji lebih lanjut. "Kita komunikasikan dan harus kita koordinasikan lagi, apakah memang layak teknologi ini kita terapkan di Kota Banjarmasin. Karena masih ada beberapa formula yang harus kita pilih," ujarnya. Hasil kunjungan studi banding ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam rapat pemerintahan untuk menentukan langkah selanjutnya.
Upaya Penanganan Sampah Sementara
Sebagai langkah sementara, Pemkot Banjarmasin telah menerapkan program pemilahan sampah di setiap kelurahan dengan mendirikan rumah pilah sampah untuk memisahkan sampah organik dan non-organik. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPAS Regional Banjabakula dan meminimalisir dampak penutupan TPAS Basirih.
TPAS Basirih sendiri ditutup karena masih menggunakan sistem open dumping yang dinilai tidak ramah lingkungan. Sanksi penutupan ini memaksa Pemkot Banjarmasin untuk segera mencari solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk mengatasi permasalahan sampah di kota tersebut. Studi banding ke Yogyakarta diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dan efektif.
Dengan mempelajari teknologi insinerator dan berbagai strategi pengelolaan sampah lainnya di Yogyakarta, diharapkan Kota Banjarmasin dapat menemukan solusi terbaik untuk mengatasi masalah darurat sampah yang sedang dihadapi. Langkah-langkah yang diambil harus mempertimbangkan aspek lingkungan, efisiensi, dan keberlanjutan agar permasalahan sampah dapat teratasi secara optimal.