Bendahara Pemda Aceh Barat Didakwa Korupsi Pajak Rp523,6 Juta
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Aceh Barat dakwa bendahara penerimaan daerah korupsi pajak daerah senilai Rp523,6 juta, yang digunakan untuk kepentingan pribadi.

Banda Aceh, 30 April 2024 - Seorang bendahara penerimaan daerah di Kabupaten Aceh Barat, Cut Nurmaliah, didakwa melakukan tindak pidana korupsi pajak daerah dengan total kerugian negara mencapai Rp523,6 juta. Dakwaan tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Taqdirullah dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Rabu, 30 April 2024. Persidangan dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai M Jamil, didampingi R Deddy Harryanto dan Ani Hartati sebagai hakim anggota.
Cut Nurmaliah, yang menjabat sebagai bendahara penerimaan pada Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Aceh Barat, hadir di persidangan tanpa didampingi penasihat hukum. JPU menjelaskan bahwa terdakwa menerima setor pajak daerah secara tunai dari berbagai sumber, termasuk pemerintahan desa dan pajak restoran, selama periode 2022 hingga 2023. Alih-alih menyetorkan dana tersebut ke kas daerah, Cut Nurmaliah diduga menggunakan uang pajak tersebut untuk kepentingan pribadinya.
Modus operandi yang dilakukan Cut Nurmaliah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia dinilai tidak mengelola penerimaan pajak daerah secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian finansial yang signifikan.
Dakwaan Berlapis dan Pengakuan Terdakwa
JPU mendakwa Cut Nurmaliah dengan pasal berlapis. Dakwaan primer didasarkan pada Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b, dan d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai dakwaan subsidair, JPU mencantumkan Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b, dan d Undang-Undang yang sama. Lebih subsidair lagi, JPU mendakwa terdakwa berdasarkan Pasal 8 jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b, dan d Undang-Undang tersebut.
Menariknya, Cut Nurmaliah menyatakan tidak keberatan atas dakwaan yang dibacakan JPU. Ia juga tidak mengajukan eksepsi atau keberatan. Hal ini mempercepat proses persidangan dan memungkinkan pengadilan untuk segera memeriksa saksi-saksi yang relevan.
Sidang selanjutnya akan dilanjutkan pada Rabu, 7 Mei 2024, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Majelis hakim telah memerintahkan JPU untuk menghadirkan saksi-saksi pada persidangan tersebut guna memperkuat bukti-bukti yang mendukung dakwaan.
Kronologi dan Rincian Kerugian Negara
Berdasarkan dakwaan JPU, Cut Nurmaliah diduga menerima uang pajak daerah secara tunai dari berbagai sumber selama kurun waktu dua tahun, yaitu tahun 2022 dan 2023. Uang pajak tersebut berasal dari berbagai sektor, termasuk setoran dari pemerintahan desa dan pajak restoran. Namun, terdakwa diduga tidak menyetorkan uang tersebut ke kas daerah sebagaimana mestinya. Total kerugian negara akibat tindakan terdakwa mencapai Rp523,6 juta.
JPU menekankan bahwa tindakan Cut Nurmaliah telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan negara. Ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik, seperti tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, menjadi dasar dakwaan yang dilayangkan.
Proses persidangan ini menjadi sorotan publik, mengingat kasus korupsi pajak daerah berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Publik berharap agar proses hukum berjalan dengan adil dan transparan, serta memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
Langkah selanjutnya adalah mendengarkan keterangan saksi-saksi yang akan dihadirkan oleh JPU. Saksi-saksi tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kronologi kejadian dan memperkuat bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh pihak penuntut umum.
Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya pengawasan yang ketat dalam pengelolaan keuangan daerah agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi.