DPR Desak Pemerintah Antisipasi Dampak Tarif Impor AS: Ancaman bagi Ekspor Indonesia?
Anggota DPR Marwan Cik Asan mendorong pemerintah segera menyiapkan langkah antisipasi dampak kebijakan tarif impor baru Amerika Serikat yang berpotensi menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia.
Jakarta, 3 April 2025 - Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan, mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah strategis dalam mengantisipasi dampak negatif dari kebijakan tarif impor baru yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Kebijakan ini, yang diumumkan pada 2 April 2025, menetapkan tarif impor sebesar 32 persen untuk sejumlah produk Indonesia, memicu kekhawatiran akan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Keputusan Trump ini menimbulkan potensi penurunan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS. Berbagai sektor, termasuk mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak nabati, alas kaki, serta produk perikanan, berisiko mengalami penurunan permintaan. Dampaknya akan terasa luas, mengingat industri pengolahan yang terkait menyerap sekitar 13,28 persen tenaga kerja Indonesia pada tahun 2023.
Marwan menekankan pentingnya antisipasi dini, mengingat potensi dampak yang dapat meliputi pelemahan nilai tukar rupiah, penurunan harga emas, dan gangguan pada neraca perdagangan Indonesia dengan AS. "Kami mendorong pemerintah segera mengantisipasi dampak perang tarif ini, sekaligus mencarikan solusi-solusi mengantisipasi dampak perang tarif ini," tegas Marwan dalam keterangannya di Jakarta.
Potensi Dampak terhadap Ekonomi Indonesia
Marwan mengakui bahwa kebijakan tarif impor AS ini berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Peningkatan tarif akan membuat produk Indonesia lebih mahal di pasar AS, sehingga mengurangi daya saingnya. Hal ini dapat berdampak pada penurunan ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
Meskipun riset dari Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan dampak terhadap Indonesia tidak sebesar negara-negara lain seperti China, Jepang, dan Vietnam, Marwan mengingatkan potensi dampak tidak langsung. Penurunan ekspor dari negara-negara tersebut ke AS dapat berdampak pada penurunan permintaan produk Indonesia, karena terhambatnya rantai pasok global.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia pada tahun 2023 dan 2024 sebesar 11,97 miliar dolar AS dan 16,08 miliar dolar AS. Meskipun angka ini lebih kecil dibandingkan defisit AS dengan negara-negara lain, potensi dampak negatif tidak bisa diabaikan.
"Peningkatan tarif ini akan menyebabkan harga barang asal Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, yang berpotensi mengurangi daya saing produk-produk tersebut," ujar Marwan.
Strategi Mitigasi Dampak Negatif
Untuk mengurangi dampak negatif, Marwan menyarankan beberapa langkah strategis. Diversifikasi pasar ekspor menjadi kunci, mengurangi ketergantungan pada AS dengan memperluas hubungan dagang ke negara-negara lain. Perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara potensial dapat menjadi solusi untuk mengamankan pasar alternatif.
Pemerintah juga perlu memberikan insentif pajak dan subsidi kepada industri yang terdampak untuk meningkatkan daya saing. Stabilitas nilai tukar rupiah juga perlu dijaga melalui kebijakan moneter yang adaptif, dengan Bank Indonesia mengoptimalkan cadangan devisa dan melakukan intervensi pasar.
Selain itu, negosiasi bilateral dengan AS untuk mendapatkan pengecualian tarif atau memperbarui program Generalized System of Preferences (GSP) juga perlu dilakukan. Hal ini penting untuk mempertahankan akses istimewa ke pasar AS.
Marwan optimistis bahwa risiko yang ditimbulkan masih dapat dikelola dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat. "Dengan pendekatan yang mencakup diversifikasi pasar, kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif, serta diplomasi perdagangan yang proaktif, saya yakin Indonesia dapat tetap menjaga stabilitas ekonomi dan mempertahankan pertumbuhan di tengah dinamika perdagangan global yang semakin kompleks," tutup Marwan.