Hasto Kristiyanto Jalani Pemeriksaan KPK Terkait Kasus Suap Harun Masiku
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan suap Harun Masiku dan perintangan penyidikan.

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, telah memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis pagi. Ia diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan perintangan penyidikan. Kehadiran Hasto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, sekitar pukul 09.53 WIB, menandai babak baru dalam proses hukum yang melibatkannya.
Hasto tiba dengan mengenakan kemeja putih dan jas hitam, didampingi beberapa kuasa hukum, termasuk Ronny Talapessy dan Maqdir Ismail. Pemeriksaan ini dijadwalkan setelah Hasto sebelumnya tidak hadir pada panggilan pemeriksaan tanggal 17 Februari. Kasus ini berkaitan erat dengan upaya penetapan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI terpilih dari Dapil Sumsel I.
Penetapan Hasto sebagai tersangka telah dilakukan pada 24 Desember 2024. Selain Hasto, advokat Donny Tri Istiqomah juga ditetapkan sebagai tersangka. KPK mengungkapkan bahwa Hasto diduga mengatur dan mengendalikan Donny Tri Istiqomah untuk melobi anggota KPU, Wahyu Setiawan.
Dugaan Suap dan Perintangan Penyidikan
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menjelaskan peran Hasto dalam kasus ini. "HK (Hasto Kristiyanto) bersama-sama dengan Harun Masiku, Saeful Bahri, dan DTI (Donny Tri Istiqomah) melakukan penyuapan terhadap Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina sebesar 19.000 dolar Singapura dan 38.350 dolar AS pada periode 16 Desember 2019 sampai dengan 23 Desember 2019 agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019—2024 dari Dapil Sumsel I," ujar Setyo.
Hasto diduga mengatur dan mengendalikan Donny Tri Istiqomah untuk aktif mengambil dan mengantarkan uang suap tersebut kepada Wahyu Setiawan melalui Agustiani Tio Fridelina. Selain dugaan suap, Hasto juga ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara obstruction of justice atau perintangan penyidikan.
Sebelumnya, Hasto mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapan status tersangka tersebut. Namun, gugatannya ditolak oleh Hakim Tunggal, Djuyamto, pada 13 Februari. Hakim menyatakan permohonan praperadilan Hasto tidak dapat diterima karena dianggap kabur atau tidak jelas.
Kronologi dan Implikasi
Kasus ini bermula dari dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku, yang hingga kini masih menjadi buronan KPK. Peran Hasto sebagai Sekretaris Jenderal PDIP dalam dugaan suap dan perintangan penyidikan ini menjadi sorotan publik. Pemeriksaan terhadap Hasto diharapkan dapat mengungkap lebih lanjut jaringan dan aktor yang terlibat dalam kasus ini.
Proses hukum yang sedang berjalan akan menentukan nasib Hasto Kristiyanto ke depannya. Publik menantikan hasil investigasi KPK dan proses peradilan yang transparan dan akuntabel. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan politik di Indonesia.
Proses hukum yang sedang berlangsung ini tentunya akan berdampak pada citra partai dan kepercayaan publik. Kejelasan dan transparansi dalam proses hukum sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan sistem peradilan di Indonesia.
- Hasto Kristiyanto memenuhi panggilan KPK sebagai tersangka.
- Ia diduga terlibat dalam kasus suap Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
- Gugatan praperadilan Hasto ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
- Kasus ini berdampak pada citra partai dan kepercayaan publik.
Proses hukum yang sedang berjalan ini akan terus dipantau dan diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum menjadi kunci penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia. Semoga kasus ini dapat menjadi pembelajaran berharga bagi semua pihak agar senantiasa menjunjung tinggi hukum dan etika dalam bernegara.