Kasus Mutilasi Ngawi: Pandangan Perempuan Sebagai Kepemilikan Picu Kekerasan
Kasus mutilasi di Ngawi, Jawa Timur, yang didorong oleh persepsi perempuan sebagai milik pribadi, menyoroti tingginya angka femisida di Indonesia dan global, berdasarkan data KemenPPPA dan UNODC.
![Kasus Mutilasi Ngawi: Pandangan Perempuan Sebagai Kepemilikan Picu Kekerasan](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/01/31/230157.018-kasus-mutilasi-ngawi-pandangan-perempuan-sebagai-kepemilikan-picu-kekerasan-1.jpg)
Kasus mutilasi sadis terhadap seorang perempuan di Ngawi, Jawa Timur, kembali menguak permasalahan serius terkait kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Penemuan jasad korban, UK (29), yang dimutilasi dan dimasukkan ke dalam koper pada Kamis, 23 Januari 2024, menggemparkan publik. Pelaku, RTH alias A (32), berhasil ditangkap pada Sabtu, 25 Januari 2024 di Tulungagung.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melihat kasus ini sebagai cerminan pandangan yang keliru tentang perempuan. Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Eni Widiyanti, menyatakan bahwa pembunuhan tersebut dilatarbelakangi kebencian, dendam, dan pandangan yang menganggap perempuan sebagai kepemilikan pribadi. Hal ini memberikan ruang bagi laki-laki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan.
Femisida, pembunuhan terhadap perempuan karena faktor gender, menjadi sorotan. Menurut KemenPPPA, kasus Ngawi hanyalah puncak gunung es. Eni Widiyanti memperkirakan jumlah kasus femisida di Indonesia mencapai antara 100 hingga 300 kasus per tahun, berdasarkan data Komnas Perempuan yang mengandalkan pemberitaan media. Angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.
Data global dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan UN Women pada tahun 2023 menunjukkan angka yang mengkhawatirkan: 85.000 perempuan dan anak perempuan dibunuh secara sengaja. Angka ini menegaskan urgensi penanganan masalah femisida secara global, termasuk di Indonesia.
Potongan tubuh korban ditemukan di beberapa lokasi berbeda, yaitu Ngawi, Ponorogo, dan Trenggalek. Pelaku, RTH, mengaku sakit hati kepada korban sebagai motif pembunuhan dan mutilasi tersebut.
Kasus ini sekali lagi mengingatkan kita akan pentingnya mengubah paradigma masyarakat tentang kesetaraan gender dan menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pendidikan dan kesadaran publik menjadi kunci utama dalam mencegah tragedi serupa terulang.
Ke depannya, diperlukan upaya lebih komprehensif untuk melindungi perempuan dari kekerasan, termasuk penegakan hukum yang tegas, peningkatan layanan dukungan bagi korban, dan kampanye sosialisasi yang masif tentang kesetaraan gender. Hanya dengan kolaborasi berbagai pihak, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan.