Ketua PN Didakwa Terima Gratifikasi Rp21,85 Miliar: Simpan di Rumah hingga Kasus Suap Terungkap!
Rudi Suparmono didakwa menerima gratifikasi Rp21,85 miliar dan suap terkait pengondisian perkara, uang disimpan di rumah hingga kasus terungkap.

Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya periode 2022-2024 dan Ketua PN Jakarta Pusat tahun 2024, Rudi Suparmono, menghadapi dakwaan serius terkait dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp21,85 miliar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa gratifikasi tersebut terdiri dari berbagai mata uang, termasuk rupiah, dolar Amerika Serikat, dan dolar Singapura. Selain itu, Rudi juga didakwa menerima suap terkait pengondisian perkara terpidana Ronald Tannur.
Bagus Kusuma Wardhana selaku JPU Kejagung menjelaskan bahwa gratifikasi yang diterima Rudi meliputi Rp1,72 miliar, 383 ribu dolar AS (setara Rp6,28 miliar), dan 1,09 juta dolar Singapura (setara Rp13,85 miliar). "Gratifikasi berupa uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing ini dianggap sebagai pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya," ujar JPU saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Kasus ini bermula ketika penyidik Kejagung melakukan penggeledahan di rumah pribadi Rudi di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2025. Dari penggeledahan tersebut, ditemukan uang senilai total Rp21,85 miliar yang diduga merupakan hasil gratifikasi. Ironisnya, Rudi tidak melaporkan penerimaan gratifikasi ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari setelah penerimaan, serta tidak mencantumkannya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Gratifikasi Puluhan Miliar Tak Dilaporkan ke KPK
Jumlah gratifikasi yang fantastis ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas Rudi Suparmono sebagai seorang pejabat publik. Penerimaan gratifikasi sebesar Rp21,85 miliar yang terdiri dari berbagai mata uang asing dan rupiah, menunjukkan indikasi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap kode etik jabatan. Tindakan tidak melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK semakin memperburuk keadaan, karena melanggar kewajiban seorang penyelenggara negara untuk transparan dan akuntabel.
Menurut JPU, Rudi tidak melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tenggang waktu 30 hari setelah penerimaan. "Rudi juga tidak melaporkan adanya harta kekayaan dalam bentuk uang tunai itu ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), padahal penerimaan tersebut tanpa alasan yang sah menurut hukum," ungkap JPU.
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan seorang mantan Ketua Pengadilan Negeri, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dan keadilan. Perilaku koruptif seperti ini tidak hanya merusak citra lembaga peradilan, tetapi juga mengkhianati kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia.
Suap Pengondisian Perkara Ronald Tannur
Selain dakwaan gratifikasi, Rudi Suparmono juga didakwa menerima suap sebesar 43 ribu dolar Singapura (setara Rp541,8 juta) terkait kasus pengondisian perkara terpidana Ronald Tannur. Uang suap tersebut diduga diterima dari penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan tujuan agar Rudi menunjuk majelis hakim yang sesuai dengan keinginan Lisa dalam perkara pidana Ronald Tannur. Praktik suap semacam ini sangat merusak integritas peradilan dan mengancam keadilan bagi semua pihak.
Terkait kasus suap ini, Rudi diduga menerima uang dari penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat. Tujuannya adalah agar Rudi menunjuk majelis hakim dalam perkara pidana Ronald Tannur sesuai keinginan Lisa. Praktik semacam ini jelas melanggar prinsip independensi hakim dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Tindakan Rudi menerima suap untuk mempengaruhi komposisi majelis hakim adalah pelanggaran serius terhadap etika profesi hakim dan hukum yang berlaku. Hal ini menunjukkan adanya praktik korupsi yang sistematis dalam tubuh peradilan, yang harus segera diberantas untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Ancaman Hukuman dan Proses Hukum Selanjutnya
Atas perbuatannya, Rudi Suparmono terancam pidana yang diatur dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman hukuman ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan menegakkan hukum seadil-adilnya.
Proses hukum terhadap Rudi Suparmono akan terus berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dan pengumpulan bukti-bukti lainnya. Masyarakat berharap agar proses peradilan berjalan transparan dan akuntabel, sehingga kebenaran dapat terungkap dan pelaku dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya. Kasus ini menjadi momentum penting bagi pembenahan sistem peradilan di Indonesia, agar praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang tidak terulang kembali.