Perludem: Revisi UU Pemilu Mendesak untuk Cegah Pemilu Otoriter di Indonesia
Perludem menilai revisi UU Pemilu mendesak dilakukan untuk mencegah potensi pemilu otoriter berdasarkan catatan V-Dem Institute.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menekankan urgensi revisi Undang-Undang Pemilu guna mencegah potensi terjadinya pemilu otoriter di Indonesia. Peneliti demokrasi internasional, V-Dem Institute, mencatat adanya penurunan peringkat Indonesia dari negara "Electoral Democracy" menjadi "Electoral Autocracy" pada tahun 2025, berdasarkan evaluasi terhadap ajang politik di Indonesia pada tahun 2024. Titi Anggraini, Pembina Perludem, menyampaikan bahwa revisi UU Pemilu menjadi krusial untuk memastikan prinsip pemilu yang bebas dan adil tetap terlaksana.
Titi Anggraini menjelaskan, catatan terbesar dari V-Dem Institute adalah meskipun pemilu tetap diadakan, prinsip-prinsip pemilu yang bebas dan adil tidak sepenuhnya diterapkan. Hal ini menjadi perhatian serius karena prasyarat mendasar dalam pemilu, seperti kebebasan berekspresi dan berserikat, serta pemilu yang bebas dan adil, belum terpenuhi secara memadai pada tahun 2024. Diskusi publik tentang RUU Pemilu yang diadakan oleh Partai Demokrat di Jakarta menjadi wadah untuk menyampaikan pentingnya revisi ini.
Menurut Titi, UU Pemilu mendesak untuk segera direvisi karena menjadi undang-undang yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), yakni sebanyak 159 kali. Sementara itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah diuji sebanyak 82 kali di MK. Banyaknya pengujian ini menunjukkan bahwa kedua undang-undang tersebut telah mengalami rekonstruksi pemaknaan oleh MK, baik yang dibatalkan maupun yang diperintahkan untuk diatur ulang.
Urgensi Revisi UU Pemilu
Titi Anggraini menekankan bahwa pembahasan revisi UU Pemilu tidak boleh ditunda-tunda lagi. Keterlambatan pembahasan dapat mengurangi kualitas proses dan substansi revisi, serta membuka celah terhadap yudisialisasi politik. Proses revisi yang tergesa-gesa menjelang tahun politik juga dapat memengaruhi partisipasi masyarakat dan kedalaman pembahasan setiap poin perubahan atau perbaikan pengaturan.
Menurutnya, keterlibatan pengadilan dan hakim yang berlebihan dapat membuka ruang politisasi pengadilan. Kekuasaan dapat memanfaatkan pengadilan untuk menjalankan agenda mereka sendiri. Titi menambahkan, Indonesia sudah memiliki pengalaman terkait hal ini tanpa perlu pembahasan lebih lanjut.
Titi juga menyoroti bahwa UU Pemilu saat ini sudah compang-camping dan tambal sulam akibat banyaknya perubahan yang diputuskan oleh MK. Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi mengganggu pelaksanaan pemilu yang demokratis.
Potensi Pemilu Otoriter
V-Dem Institute awalnya menilai Indonesia memiliki pemilu eksekutif multipartai yang berlangsung secara bebas dan adil, dengan tingkat yang memadai dalam hal hak pilih, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berserikat. Namun, evaluasi pada tahun 2024 menunjukkan adanya penurunan kualitas demokrasi yang signifikan.
Titi menjelaskan bahwa jika revisi UU Pemilu tidak segera dilakukan, potensi terjadinya pemilu otoriter akan semakin besar. Hal ini dapat merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun selama ini dan mengancam hak-hak politik warga negara.
Revisi UU Pemilu diharapkan dapat memperkuat制度 pemilu, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu, serta menjamin hak-hak politik seluruh warga negara. Dengan demikian, pemilu dapat menjadi sarana yang efektif untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan memilih pemimpin yang berkualitas.
Revisi UU Pemilu menjadi langkah krusial untuk menjaga kualitas demokrasi di Indonesia dan mencegah terjadinya pemilu otoriter. Perludem berharap agar semua pihak terkait dapat segera membahas dan menyetujui revisi ini demi kepentingan bangsa dan negara.