Polri Beber Alasan Tak Tahan Tersangka Kasus Pemalsuan Sertifikat di Pagar Laut Bekasi
Bareskrim Polri menyatakan sembilan tersangka kasus pemalsuan 93 sertifikat di Pagar Laut Bekasi tidak ditahan karena ketidaksepahaman dengan Kejaksaan Agung terkait konstruksi perkara, khususnya dengan kasus serupa di Tangerang.

Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri memberikan penjelasan terkait tidak ditahannya sembilan tersangka kasus dugaan pemalsuan 93 sertifikat hak milik (SHM) di wilayah Pagar Laut, Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Peristiwa ini terjadi pada bulan April 2024, melibatkan berbagai pihak mulai dari mantan kepala desa hingga staf pemerintahan desa. Ketidaksepahaman antara penyidik dan Kejaksaan Agung menjadi alasan utama di balik keputusan tersebut.
Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro, Dirtipidum Bareskrim Polri, menyatakan bahwa para tersangka yang kooperatif dan belum adanya kesepahaman dengan Kejaksaan Agung terkait konstruksi perkara menjadi penyebab utama tidak dilakukannya penahanan. Perbedaan pandangan ini terkait erat dengan kasus serupa di Tangerang, yaitu dugaan tindak pidana pemalsuan surat terkait penerbitan sertifikat di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten.
Kasus di Tangerang ini melibatkan dugaan tindak pidana pemalsuan 263 SHGB dan 17 SHM. Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Bareskrim Polri dengan petunjuk agar penyidikan dilanjutkan ke ranah tindak pidana korupsi. Bareskrim Polri kemudian mengembalikan berkas tersebut dengan alasan telah terpenuhi unsur formal dan material, serta telah diselidiki oleh Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri. Namun, Kejaksaan Agung kembali mengembalikan berkas tersebut, meminta agar kasus tersebut ditangani Kortastipidkor karena ditemukannya unsur tindak pidana korupsi.
Ketidaksepahaman Konstruksi Perkara
Ketidaksepahaman antara Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung mengenai konstruksi perkara menjadi poin penting dalam kasus ini. Perbedaan pandangan tersebut berdampak pada penanganan kasus di Bekasi. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan sensitivitas kasus pemalsuan sertifikat, yang seringkali melibatkan berbagai pihak dan aspek hukum.
Brigjen Pol. Djuhandhani menjelaskan bahwa "Dikarenakan para tersangka kooperatif dan belum ada kesepahaman antara penyidik dan Kejaksaan dalam melihat konstruksi perkara pagar laut," menjadi alasan utama tidak ditahannya para tersangka di Bekasi. Penjelasan ini menekankan pentingnya koordinasi dan kesamaan persepsi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penegakan hukum.
Proses hukum yang berbelit dan berulang antara Bareskrim dan Kejaksaan Agung menunjukkan kompleksitas dalam mengungkap kasus ini. Perbedaan interpretasi hukum dan prosedur menjadi tantangan tersendiri dalam memastikan keadilan bagi semua pihak.
Tersangka Kasus Pagar Laut Bekasi
Dalam kasus Pagar Laut Bekasi, sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terdiri dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses administrasi pertanahan di Desa Segarajaya. Para tersangka meliputi mantan Kepala Desa, Kepala Desa saat ini, Kasi Pemerintahan, staf Kantor Desa, ketua tim support PTSL, petugas ukur, operator komputer, dan tenaga pembantu tim tersebut. Identitas para tersangka telah dipublikasikan, namun detail lebih lanjut mengenai peran masing-masing tersangka masih dalam tahap penyelidikan.
Penetapan sembilan tersangka menunjukkan luasnya jaringan yang terlibat dalam dugaan pemalsuan sertifikat tersebut. Penyelidikan lebih lanjut diharapkan dapat mengungkap seluruh jaringan dan motif di balik kasus ini. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
Meskipun para tersangka tidak ditahan, proses hukum tetap berlanjut. Bareskrim Polri akan terus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan. Kerjasama yang baik antara Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung sangat penting untuk memastikan kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan transparan.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan administrasi pertanahan. Mekanisme pencegahan dan pengawasan yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang. Perbaikan sistem dan prosedur administrasi pertanahan menjadi kunci untuk melindungi hak-hak masyarakat dan mencegah terjadinya pelanggaran hukum.