Tahukah Anda? Dua Warga Binaan Lapas Gorontalo Terima Amnesti Presiden Prabowo, Salah Satunya Lansia!
Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada dua warga binaan Lapas Gorontalo, termasuk seorang lansia dan penyalahguna narkotika. Apa pertimbangan di baliknya?

Gorontalo, 2 Agustus – Dua warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Gorontalo, berinisial IN (74) dan SF (26), baru-baru ini menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Keputusan penting ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 17 Tahun 2025. Pemberian amnesti ini menandai sebuah langkah kemanusiaan serta kesempatan kedua bagi mereka yang memenuhi kriteria ketat yang telah ditetapkan.
Kepala Lapas (Kalapas) Gorontalo, Sulistyo Wibowo, menyambut baik kebijakan ini. Ia menegaskan bahwa seluruh proses pembebasan telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kebijakan ini juga menunjukkan komitmen negara dalam memberikan keadilan dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Amnesti yang diberikan kepada IN dan SF memiliki latar belakang serta alasan yang berbeda. Bagi IN, usianya yang telah lanjut menjadi pertimbangan utama, sementara SF mendapatkan kesempatan kedua untuk memulihkan diri dari ketergantungan narkotika. Kedua kasus ini mencerminkan pendekatan selektif pemerintah dalam menerapkan hak prerogatif Presiden.
Kriteria Pemberian Amnesti yang Selektif dan Kemanusiaan
Pemberian amnesti kepada IN, seorang lansia berusia 74 tahun, merupakan wujud kemanusiaan dari negara. Kalapas Sulistyo Wibowo menjelaskan bahwa amnesti ini memberikan kesempatan bagi IN untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama keluarga. Kebijakan ini menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap kondisi narapidana lanjut usia yang tidak terlibat dalam tindak pidana berat.
Namun, pemerintah secara tegas menetapkan bahwa tidak semua narapidana lansia dapat menerima amnesti. Kategori tindak pidana berat seperti pembunuhan, kejahatan narkotika (selain pengguna), korupsi, serta mereka yang berstatus residivis, secara otomatis tidak memenuhi syarat. Hal ini memastikan bahwa pemberian amnesti dilakukan dengan pertimbangan yang cermat dan selektif.
Sementara itu, SF yang berusia 26 tahun dibebaskan dari jeratan kasus narkotika. Ia terbukti sebagai penyalahguna berdasarkan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Syarat pemberian amnesti bagi kasus narkotika memang dikhususkan bagi mereka yang berstatus sebagai pengguna atau korban penyalahgunaan, bukan pengedar, yang menunjukkan fokus pada rehabilitasi.
Sulistyo menambahkan bahwa selektivitas ini penting demi menjaga rasa keadilan di tengah masyarakat. Setiap kasus dinilai secara individu dengan memperhatikan dampak sosial dan hukumnya. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong reintegrasi narapidana ke masyarakat secara positif.
Harapan dan Pembinaan Pasca-Amnesti
Bagi SF, amnesti ini adalah kesempatan kedua untuk pulih dan menata kembali masa depannya. Kalapas berharap SF dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan produktif di masyarakat. Selama berada di Lapas, SF diketahui sedang dan akan terus melanjutkan program rehabilitasi untuk memulihkan dirinya dari ketergantungan.
Lapas Gorontalo telah memberikan berbagai pembinaan kepada kedua warga binaan tersebut. Pembinaan ini mencakup aspek spiritual, mental, dan keterampilan, yang bertujuan untuk mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat. Harapannya, mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.
Kebijakan amnesti ini bukan hanya sekadar pembebasan, melainkan juga bagian dari upaya pembinaan dan reintegrasi sosial. Pemerintah melalui Lapas berkomitmen untuk memberikan dukungan agar mantan narapidana dapat berkontribusi positif. Ini adalah langkah nyata dalam mewujudkan sistem pemasyarakatan yang humanis dan berorientasi pada pemulihan.
Pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada IN dan SF menjadi contoh bagaimana negara memberikan kesempatan kedua. Kebijakan ini didasarkan pada prinsip kemanusiaan dan keadilan, dengan tetap menjaga ketertiban serta keamanan masyarakat. Ini adalah bukti bahwa setiap individu berhak atas kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjalani kehidupan yang lebih baik.