Tahukah Anda? Kasus Penganiayaan di Bireuen Diselesaikan dengan Keadilan Restoratif, Ini Alasannya!
Kejaksaan Negeri Bireuen berhasil menyelesaikan kasus penganiayaan melalui pendekatan Keadilan Restoratif, sebuah terobosan hukum yang menarik perhatian publik. Simak detailnya!

Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Provinsi Aceh, baru-baru ini mengumumkan persetujuan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) terkait penyelesaian kasus penganiayaan. Kasus ini diselesaikan berdasarkan prinsip keadilan restoratif, sebuah pendekatan yang menekankan pemulihan hubungan dan perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat.
Kepala Kejari Bireuen, Munawal Hadi, menjelaskan bahwa perkara tersebut melibatkan dua tersangka berinisial Z dan F, serta korban berinisial MAG. Keputusan ini diambil setelah korban dan kedua tersangka mencapai kesepakatan damai, serta para tersangka berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
Penyelesaian kasus ini melalui jalur keadilan restoratif menunjukkan komitmen Kejaksaan dalam mencari alternatif penyelesaian sengketa pidana. Proses ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi semua pihak, sekaligus mengurangi beban sistem peradilan konvensional.
Kronologi Kasus dan Penerapan Keadilan Restoratif
Peristiwa penganiayaan yang menjadi dasar kasus ini terjadi di sebuah kilang padi di Desa Seuneubok Nalan, Kecamatan Peulimbang, Kabupaten Bireuen, pada Maret lalu. Saat itu, korban MAG terlibat cekcok mulut dengan seseorang berinisial I. Tak lama kemudian, tersangka Z dan F datang menghampiri MAG dan melakukan pemukulan beberapa kali menggunakan tangan ke arah kepala korban.
Aksi tersebut segera dilerai oleh warga bernama Yusri, yang kemudian membawa MAG ke Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Fauziah Kabupaten Bireuen untuk mendapatkan penanganan medis. Perbuatan tersangka Z dan F ini melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP, yang memiliki ancaman hukuman paling lama dua tahun delapan bulan penjara.
Sebelum persetujuan Jampidum, Kejari Bireuen telah menggelar ekspose penyelesaian perkara secara virtual. Ekspose ini melibatkan Direktur Orang dan Harta Benda (Orharda) Jampidum Kejaksaan Agung, Nanang Ibrahim, serta Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Yudi Triadi. Hasil ekspose tersebut menghasilkan persetujuan Jampidum untuk menyelesaikan perkara ini melalui keadilan restoratif.
Dengan adanya persetujuan tersebut, jaksa penuntut umum Kejari Bireuen tidak akan melanjutkan penyelesaian perkara ini ke pengadilan. Hal ini sejalan dengan program Jaksa Agung yang mengedepankan penyelesaian perkara di luar jalur persidangan, terutama jika memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat dan Filosofi Keadilan Restoratif
Munawal Hadi menjelaskan bahwa penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif merupakan tindak lanjut dari program Jaksa Agung. Program ini bertujuan agar penyelesaian sebuah perkara tidak selalu harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan. Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara dianggap sebagai upaya terakhir, sehingga jika ada persoalan hukum, diupayakan diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif.
Ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi agar sebuah perkara dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif. Pertama, para pihak, baik korban maupun pelaku, sudah berdamai. Kedua, pelaku berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, dan korban juga tidak lagi menuntut. Ketiga, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana dan bukan residivis atau orang yang pernah menjalani pidana sebelumnya.
Syarat penting lainnya adalah ancaman pidana untuk perbuatan tersebut harus kurang dari lima tahun. Kasus penganiayaan yang melibatkan Z dan F ini memenuhi semua kriteria tersebut, sehingga layak untuk diselesaikan secara keadilan restoratif. Pendekatan ini juga sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara kerap dimusyawarahkan oleh kedua belah pihak yang disaksikan oleh tokoh masyarakat.