Terobosan Hukum: Sumsel Hadirkan Payung Hukum Perlindungan Hak Pascacerai, Jadi Contoh Nasional?
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengambil langkah progresif dengan menghadirkan payung hukum perlindungan hak pascacerai, memberikan jaminan sosial dan hukum bagi perempuan dan anak.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov Sumsel) telah mengambil langkah signifikan dengan menghadirkan payung hukum yang bertujuan untuk memperluas perlindungan sosial dan hukum, khususnya bagi kelompok perempuan dan anak di wilayahnya. Inisiatif ini merupakan respons terhadap kebutuhan mendesak akan jaminan hak-hak pascaperceraian serta upaya pencegahan perkawinan anak yang masih menjadi isu krusial di daerah tersebut. Kesepakatan ini mencerminkan komitmen pemerintah daerah dalam menciptakan lingkungan yang lebih adil dan aman bagi warganya.
Langkah progresif ini diwujudkan melalui penandatanganan kesepakatan kerja sama antara Pemprov Sumsel dan Pengadilan Tinggi Agama Palembang pada Selasa, 22 Juli. Kerja sama ini tidak hanya melibatkan kedua entitas tersebut, tetapi juga seluruh pemerintah kabupaten/kota se-Sumsel, menunjukkan kolaborasi lintas sektor yang kuat. Tujuan utamanya adalah memastikan tidak ada anak dan perempuan yang terabaikan hak-haknya setelah perceraian, baik secara hukum maupun sosial.
Gubernur Sumsel, Herman Deru, menyoroti kondisi memprihatinkan yang kerap dialami anak-anak korban perceraian, terutama di pedesaan, yang tanpa pendampingan memadai berisiko mengalami penurunan mental, keterbatasan akses pendidikan, dan masa depan yang terancam. Oleh karena itu, payung hukum perlindungan hak pascacerai ini diharapkan dapat menjadi fondasi kuat untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut. Inisiatif ini juga berfokus pada pencegahan perkawinan anak, yang masih menjadi perhatian serius di provinsi ini.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Perlindungan Menyeluruh
Kesepakatan kerja sama antara Pemprov Sumsel, Pengadilan Tinggi Agama Palembang, dan seluruh pemerintah kabupaten/kota se-Sumsel merupakan wujud nyata kolaborasi untuk memperkuat perlindungan sosial dan hukum. Gubernur Herman Deru menekankan pentingnya peran bupati dan wali kota dalam menjalankan fungsi promotif, preventif, dan eksekusi kebijakan di lapangan. Struktur pemerintahan yang menjangkau hingga tingkat RT dan RW diharapkan mampu mendekatkan layanan perlindungan ini kepada masyarakat secara langsung.
Perlindungan hak pascacerai menjadi fokus utama karena seringkali kelompok perempuan dan anak menjadi pihak yang paling rentan terdampak. Melalui payung hukum ini, diharapkan hak-hak mereka dapat terpenuhi, termasuk hak asuh, nafkah, dan akses terhadap pendidikan. Ini adalah upaya komprehensif untuk memastikan kesejahteraan sosial dan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang membutuhkan perhatian lebih.
Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menjadi bagian integral dari kerja sama ini. Pemahaman yang lebih baik tentang regulasi perkawinan dan perceraian diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari permasalahan rumah tangga. Dengan demikian, kolaborasi ini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam mencegah masalah sosial yang lebih besar.
Mencegah Perkawinan Anak dan Dampak Perceraian
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sumsel, Fitriana, mengungkapkan bahwa meskipun angka perkawinan anak di Sumsel menunjukkan penurunan, namun masih terdapat 891 dispensasi kawin anak di tahun 2024, sebuah angka yang mencemaskan. Data ini menjadi dasar empiris penting bagi urgensi kesepakatan ini. Anak yang menikah dini umumnya belum matang secara fisik maupun psikis, sehingga berpotensi besar menghadapi tantangan hidup yang berat.
Risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kemiskinan, dan perceraian dini adalah beberapa dampak negatif yang seringkali dialami oleh anak-anak yang menikah di usia muda. Kondisi ini memperburuk siklus kemiskinan dan menghambat perkembangan individu. Oleh karena itu, pencegahan perkawinan anak menjadi prioritas dalam payung hukum ini, sejalan dengan upaya perlindungan hak pascacerai.
Dengan adanya perjanjian ini, diharapkan tidak hanya angka pernikahan dini yang menurun, tetapi juga kualitas hidup anak dan perempuan di Sumsel dapat meningkat secara signifikan. Perlindungan hukum yang kuat akan memberikan jaminan bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak dasar dan kesempatan yang lebih baik dalam hidup. Ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan generasi muda di Sumatera Selatan.
Menuju Keadilan Inklusif dan Model Nasional
Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Muchlis, mengapresiasi kerja sama ini sebagai langkah strategis untuk menghadirkan keadilan yang lebih inklusif. Ia menekankan bahwa ini bukan sekadar kesepakatan administratif, melainkan kerja nyata menuju keadilan sosial, terutama bagi perempuan yang sering terabaikan haknya setelah perceraian. Inisiatif ini menunjukkan responsifnya sistem peradilan terhadap kebutuhan kelompok rentan.
Hasil dari kesepakatan ini direncanakan akan dilaporkan kepada Mahkamah Agung RI sebagai contoh bagi provinsi lain di Indonesia. Harapannya, sistem peradilan di masa depan akan lebih responsif dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, khususnya dalam melindungi hak-hak kelompok rentan. Sumsel diharapkan dapat menjadi pionir dalam implementasi kebijakan perlindungan hak pascacerai yang komprehensif.
Langkah Pemprov Sumsel ini diharapkan dapat menginspirasi daerah lain untuk mengembangkan payung hukum serupa, menciptakan jaringan perlindungan yang lebih luas di seluruh Indonesia. Dengan demikian, keadilan sosial yang merata dan perlindungan yang memadai bagi perempuan dan anak pascaperceraian dapat terwujud secara nasional. Ini adalah fondasi penting untuk membangun masyarakat yang lebih berkeadilan dan berempati.