Amnesti untuk KKB: Upaya Baru Perdamaian di Papua?
Anggota DPR menilai pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo kepada narapidana terkait KKB di Papua sebagai upaya baru perdamaian, namun perlu diimbangi dialog dan rekonsiliasi untuk solusi permanen.
Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada narapidana terkait Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Langkah ini dinilai oleh Anggota Komisi II DPR RI, Indrajaya, sebagai pendekatan baru untuk mencapai perdamaian di Papua. Pengumuman tersebut disampaikan pada tanggal 29 Januari di Jakarta.
Indrajaya menjelaskan bahwa pemberian amnesti ini, khususnya kepada tahanan politik asal Papua, dapat menjadi kunci untuk mengakhiri konflik bersenjata yang berkepanjangan. Ia mengapresiasi langkah Presiden dan berharap amnesti ini diikuti oleh langkah-langkah konstruktif menuju perdamaian abadi. Hal ini diharapkan dapat membuka jalan menuju perdamaian yang lebih permanen.
Alasan di balik pemberian amnesti ini juga didasari pada kondisi memprihatinkan sejumlah narapidana. Banyak dari mereka yang menderita sakit berat, cacat permanen, bahkan gangguan jiwa. Indrajaya berpendapat bahwa amnesti dapat membantu meredakan konflik dengan mengurangi rasa dendam. Pemberian amnesti dinilai sebagai langkah bijak mengingat kondisi kesehatan para narapidana.
Namun, Indrajaya menekankan bahwa amnesti bukanlah solusi tunggal. Perdamaian abadi membutuhkan dialog kemanusiaan yang melibatkan pemerintah dan berbagai pihak di Papua. Proses ini harus mencakup rekonsiliasi berdasarkan HAM, jaminan keamanan, keadilan, dan pemerataan kesejahteraan. Pemberian amnesti harus diiringi dengan upaya-upaya lain untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
Indrajaya berharap pemerintahan Presiden mampu menunjukkan komitmen yang lebih kuat untuk perdamaian di Papua, mengingat eskalasi konflik dalam lima tahun terakhir. Ia percaya Presiden serius dalam upayanya menciptakan perdamaian. Konflik yang berkepanjangan membutuhkan solusi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak.
Indonesia memiliki pengalaman dalam pemberian amnesti, seperti dalam MoU antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005. Pengalaman ini dapat dijadikan rujukan, di mana amnesti dibarengi dengan penghapusan hukuman pidana, serta pemulihan hak-hak sosial, politik, dan ekonomi. Pembelajaran dari kasus Aceh dapat diterapkan dalam konteks Papua.
Namun, konflik di Papua lebih kompleks, diduga terkait ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah perlu memastikan manfaat pembangunan di Papua dirasakan oleh masyarakat. Program-program pemerintah harus memberikan keadilan dan kemakmuran merata, seperti yang dicanangkan dalam Program Astacita. Ketidakadilan dalam pembangunan menjadi salah satu faktor penyebab konflik.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, sebelumnya telah menyatakan bahwa Presiden akan memberikan amnesti kepada sejumlah narapidana, termasuk kasus narkoba dan aksi bersenjata di Papua. Pemberian amnesti ini juga bertujuan mengurangi kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, selain pertimbangan kemanusiaan. Data Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) menunjukkan sekitar 44.000 narapidana memenuhi kriteria amnesti.