DPR: Kreativitas Tak Boleh Dibatasi, Kasus Band Sukatani Jadi Sorotan
Anggota Komisi VII DPR RI Samuel Wattimena menyoroti pembatasan kreativitas yang dialami grup musik Sukatani, menekankan pentingnya kebebasan berekspresi dalam demokrasi.

Anggota Komisi VII DPR RI, Samuel Wattimena, angkat bicara terkait kasus grup musik Sukatani yang menuai kontroversi akibat lagu "Bayar Bayar Bayar". Pernyataan tersebut disampaikan di Semarang, Minggu, 23 Februari 2024, saat beliau mengikuti kegiatan 'Gebyuran Bustaman'. Samuel menekankan bahwa pembatasan kreativitas seperti yang dialami Sukatani seharusnya sudah tidak lagi terjadi di era demokrasi saat ini. Kasus ini melibatkan lagu yang dianggap mengkritik oknum kepolisian, berujung pada permintaan maaf publik dari band tersebut dan pemecatan vokalisnya dari pekerjaannya sebagai guru.
Samuel Wattimena melihat viralnya kasus ini sebagai hal positif. Menurutnya, masyarakat, khususnya generasi muda, perlu aktif mengkritisi hal-hal yang dianggap tidak benar. Beliau menegaskan bahwa kebebasan berekspresi merupakan bagian integral dari demokrasi dan tidak seharusnya dibatasi. "Bahwasanya kemudian masyarakat, bukan hanya generasi muda menyikapi hal ini dengan berbagai cara, itu menurut saya hal yang sangat positif. Ya, karena egaliter itu adalah prinsip dari demokrasi," katanya.
Pernyataan Samuel Wattimena ini muncul setelah grup band punk asal Purbalingga, Sukatani, meminta maaf secara publik kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri. Permintaan maaf disampaikan melalui video di media sosial, menyusul kontroversi lirik lagu "Bayar Bayar Bayar" yang dianggap menyinggung institusi kepolisian. Lirik lagu tersebut antara lain berbunyi, "mau bikin SIM, bayar polisi. Ketilang di jalan, bayar polisi."
Kontroversi Lagu "Bayar Bayar Bayar" dan Dampaknya
Dalam video permintaan maaf tersebut, dua personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (Alectroguy) dan Novi Citra Indriyati (Twister Angel), menjelaskan konteks penciptaan lagu tersebut. Alectroguy menyatakan bahwa lagu tersebut ditujukan untuk menyoroti oknum kepolisian yang melanggar peraturan. Namun, viralnya lagu tersebut berdampak negatif bagi band tersebut. Lagu "Bayar Bayar Bayar" telah ditarik dari platform streaming Spotify, dan Alectroguy mengimbau pengguna media sosial untuk menghapus konten yang menggunakan lagu tersebut.
Lebih lanjut, Alectroguy menyampaikan kekhawatiran akan risiko hukum yang mungkin dihadapi jika lagu tersebut tetap beredar. "Dengan ini, saya mengimbau kepada semua pengguna platform media sosial yang telah memiliki lagu kami dengan judul 'Bayar Bayar Bayar', lirik lagu bayar polisi, agar menghapus dan menarik semua video yang menggunakan lagu kami karena apabila ada risiko di kemudian hari, sudah bukan tanggung jawab kami," ujarnya.
Dampak kontroversi ini meluas hingga ke kehidupan pribadi personel band. Tersiar kabar bahwa vokalis Sukatani, Novi Citra Indriyati alias Twister Angel, yang berprofesi sebagai guru, telah dipecat dari tempatnya mengajar. Hal ini semakin memperkuat argumentasi Samuel Wattimena tentang pentingnya kebebasan berekspresi tanpa harus menghadapi pembatasan yang berlebihan.
Kebebasan Berekspresi dalam Demokrasi
Kasus Sukatani menjadi contoh nyata bagaimana kreativitas dan kebebasan berekspresi dapat berbenturan dengan norma sosial dan hukum. Pernyataan Samuel Wattimena memberikan perspektif penting tentang perlunya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab dalam menyampaikan kritik. Diharapkan kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat dan ekspresi seni.
Perdebatan seputar kebebasan berekspresi dan batasannya akan terus berlanjut. Namun, penting untuk mengingat bahwa demokrasi menjamin ruang bagi beragam suara dan pandangan, selama tidak melanggar hukum dan etika. Kasus Sukatani menjadi pengingat penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, termasuk kebebasan berekspresi.
Ke depan, diharapkan akan ada dialog yang lebih konstruktif antara seniman, masyarakat, dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perkembangan seni dan kreativitas tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi.
Kesimpulan: Kasus Sukatani menggarisbawahi pentingnya kebebasan berekspresi dalam konteks demokrasi. Perlu adanya keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan tanggung jawab dalam menyampaikan kritik, serta perlindungan bagi seniman dari pembatasan kreativitas yang tidak proporsional.