Hasto Kristiyanto: Kasus Harun Masiku sebagai Instrumen Penekan
Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyatakan kasus Harun Masiku digunakan sebagai instrumen untuk menekan dirinya, terutama setelah pernyataan kritis partai.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, hari Jumat lalu membacakan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dalam nota tersebut, ia menyatakan bahwa kasus tersangka Harun Masiku secara konsisten digunakan sebagai alat untuk menekan dirinya. Hal ini terlihat dari pemantauan media yang menunjukkan peningkatan pemberitaan kasus Harun Masiku seiring dengan dinamika politik dan sikap kritis PDI Perjuangan.
Hasto menjelaskan bahwa sebagai Sekjen DPP PDI Perjuangan, ia bertanggung jawab menyampaikan sikap politik partai terkait berbagai peristiwa dan dinamika politik nasional maupun internasional. Ia mencontohkan penolakan kehadiran tim sepak bola Israel dalam Piala Dunia U-20 2023 dan kritik terhadap intervensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap bermotif elektoral melalui Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai contoh sikap politik tersebut.
Sikap-sikap kritis tersebut, menurut Hasto, telah memicu intimidasi yang meningkat sejak Agustus 2023, terutama setelah Pilkada 2024 dan menjelang pemecatan beberapa kader partai yang berpengaruh. Namun, Hasto menegaskan bahwa sikap politik PDI Perjuangan mencerminkan kedaulatan partai dan konsistensi perjuangannya sejak Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan Bung Karno.
Dakwaan Terhadap Hasto Kristiyanto
Hasto didakwa terkait kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi Harun Masiku dan pemberian suap. Dakwaan tersebut mencakup periode 2019-2024. Ia diduga memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk menenggelamkan telepon genggam Harun setelah penangkapan Wahyu Setiawan oleh KPK.
Tidak hanya itu, Hasto juga diduga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk melakukan hal yang sama terhadap telepon genggamnya sendiri. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi upaya paksa dari penyidik KPK. Selain perintangan penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri, dan Harun Masiku sendiri memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura (sekitar Rp600 juta) kepada Wahyu Setiawan.
Uang tersebut diduga diberikan agar Wahyu Setiawan mengupayakan agar KPU menyetujui pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih Dapil Sumatera Selatan I, Riezky Aprilia, digantikan oleh Harun Masiku. Atas dakwaan tersebut, Hasto terancam pidana berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Konteks Politik dan Intimidasi
Pernyataan Hasto tentang penggunaan kasus Harun Masiku sebagai instrumen penekanan perlu dilihat dalam konteks politik yang lebih luas. Sikap kritis PDI Perjuangan terhadap berbagai kebijakan dan peristiwa, seperti yang telah disebutkan di atas, kemungkinan besar telah menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, penggunaan kasus Harun Masiku dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk membungkam kritik dan tekanan politik terhadap PDI Perjuangan.
Intimidasi yang dialami Hasto, yang meningkat menjelang dan setelah Pilkada 2024, juga menunjukkan adanya tekanan politik yang signifikan. Pemecatan kader partai yang berpengaruh juga dapat dikaitkan dengan dinamika kekuasaan internal partai dan upaya untuk mengamankan posisi politik tertentu. Kasus ini menyoroti kompleksitas politik Indonesia dan bagaimana kasus hukum dapat dimanfaatkan untuk tujuan politik.
Perlu ditekankan bahwa semua tuduhan terhadap Hasto Kristiyanto masih dalam proses hukum dan belum terbukti kebenarannya. Proses peradilan akan menentukan nasib Hasto selanjutnya. Namun, pernyataan Hasto tentang penggunaan kasus Harun Masiku sebagai instrumen penekanan patut menjadi perhatian dan bahan pertimbangan bagi publik.
Kesimpulannya, kasus ini bukan hanya tentang dugaan pelanggaran hukum, tetapi juga menyoroti dinamika politik dan kekuasaan di Indonesia. Pernyataan Hasto membuka jendela pada praktik-praktik politik yang perlu dikaji lebih dalam untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam sistem hukum dan politik Indonesia.