Insentif Pajak Hijau: Akselerasi Ekonomi Berkelanjutan Indonesia?
Pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi kebijakan insentif pajak untuk mendorong investasi hijau dan mengurangi dampak negatif lingkungan, dengan belajar dari keberhasilan negara lain.

JAKARTA, 20 Februari 2024 (ANTARA) - Kebijakan pajak berperan krusial dalam membentuk perilaku ekonomi, termasuk mendorong investasi ramah lingkungan dan transisi ke ekonomi berkelanjutan. Di banyak negara, insentif pajak terbukti efektif merangsang investasi hijau. Namun, tantangan muncul ketika insentif justru lebih menguntungkan sektor yang mencemari dibandingkan sektor hijau. Indonesia, sebagai contoh, telah menerapkan berbagai insentif pajak untuk investasi hijau, namun efektivitasnya masih dipertanyakan.
Pertanyaan kunci yang muncul adalah: Seberapa efektifkah kebijakan insentif pajak hijau di Indonesia? Bagaimana seharusnya insentif pajak dirancang untuk mendukung transisi ekonomi hijau, dengan mempertimbangkan pengalaman global dan tantangan domestik? Artikel ini akan membahas hal tersebut, menganalisis berbagai pendekatan yang diterapkan di negara lain, serta mengkaji implementasi kebijakan serupa di Indonesia.
Penggunaan insentif pajak untuk investasi hijau, menurut Kronfol dan Sandoval (2025), dapat dikategorikan menjadi tiga jenis utama: insentif berorientasi sektor hijau (misalnya, kendaraan listrik dan energi terbarukan), insentif berorientasi proses hijau (misalnya, penggunaan energi bersih dan daur ulang), dan insentif untuk sektor yang mencemari (misalnya, bahan bakar fosil dan pertambangan). Sayangnya, banyak negara, termasuk Indonesia, masih memberikan insentif kepada sektor yang mencemari, menciptakan inkonsistensi dalam kebijakan keberlanjutan.
Pengalaman Global dalam Penerapan Pajak Hijau
Beberapa negara telah berhasil menerapkan kebijakan pajak untuk mendorong ekonomi hijau. Jerman, misalnya, dengan sistem pajak karbon dan insentif pajak untuk energi terbarukan, berhasil mencapai lebih dari 46 persen konsumsi listrik dari energi terbarukan pada tahun 2022 (Bundesnetzagentur, 2023). Swedia, dengan pajak karbon sejak 1991, berhasil menurunkan emisi karbon hingga 25 persen dalam dua dekade (IMF, 2023). Kanada, melalui sistem harga karbon yang ketat dan keringanan pajak untuk teknologi rendah karbon, menciptakan lebih dari 300.000 lapangan kerja baru di sektor energi bersih pada tahun 2023 (World Bank, 2023).
China juga sukses dengan insentif pajak untuk kendaraan listrik dan energi terbarukan, menghasilkan lebih dari 60 persen produksi kendaraan listrik global pada tahun 2023 (IEA, 2023). Inggris, dengan skema pajak karbon sejak 2013, menurunkan emisi karbon industri berat sebesar 40 persen (UK Climate Committee, 2023). Jepang, melalui insentif pajak untuk teknologi rendah karbon di sektor manufaktur, mengurangi emisi CO2 hingga 18 persen dalam satu dekade (METI, 2023). Keberhasilan negara-negara ini menunjukkan potensi besar insentif pajak dalam mendorong transisi hijau.
Kebijakan Insentif Pajak Hijau di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan
Indonesia telah menerapkan beberapa insentif pajak untuk mendukung investasi hijau, antara lain: Super Deduction Tax untuk riset dan pengembangan teknologi hijau (pengurangan pajak hingga 300 persen), Tax Holiday untuk energi terbarukan (pembebasan Pajak Penghasilan Badan selama 5-20 tahun), insentif PPN untuk kendaraan listrik, dan pajak karbon (diberlakukan sejak 2022). Namun, Indonesia masih memberikan insentif kepada industri yang mencemari lingkungan, seperti industri batubara dan kelapa sawit, yang menunjukkan inkonsistensi dalam kebijakan fiskal.
Meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan, masih terdapat ketidakseimbangan. Insentif pajak dapat lebih efektif jika dirancang dan diimplementasikan dengan lebih baik, misalnya dengan memberikan keringanan pajak yang lebih signifikan bagi perusahaan yang berinvestasi dalam energi terbarukan atau kendaraan listrik, serta mengenakan pajak karbon yang lebih tinggi pada industri-industri yang menghasilkan emisi karbon besar.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Transparansi dan evaluasi berkala sangat penting untuk mengukur efektivitas kebijakan pajak hijau. Pemerintah perlu membangun platform digital untuk melacak penggunaan insentif pajak dan dampaknya terhadap emisi karbon serta sektor ekonomi. Pajak karbon yang progresif, dengan tarif lebih tinggi untuk emisi besar, dapat mempercepat transisi hijau. Indonesia dapat belajar dari model Swedia dan Jerman dalam penerapan pajak karbon dan subsidi energi terbarukan.
Integrasi kebijakan pajak hijau dengan target iklim nasional, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan target net-zero emisi pada 2060, sangat krusial. Kebijakan fiskal harus mendukung tujuan jangka panjang untuk mencapai net-zero emisi, dengan memprioritaskan sektor energi terbarukan dan mobilitas listrik dalam pemberian insentif. Dengan langkah-langkah yang terintegrasi dan terukur, Indonesia dapat mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan.
*) Dr. Aswin Rivai, SE., MM adalah pemerhati ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta