Kawasan Industri: Keamanan dan HGBT, Kunci Daya Saing Manufaktur Indonesia
Industri manufaktur Indonesia, penyumbang utama perekonomian, menghadapi tantangan keamanan dan utilitas; pemerintah berupaya meningkatkan daya saing lewat penguatan keamanan kawasan industri dan subsidi gas HGBT.
Industri manufaktur telah lama menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Pada tahun lalu, nilai ekspor industri manufaktur mencapai US$196,54 miliar, atau 74,25 persen dari total ekspor nasional sebesar US$264,70 miliar. Investasi di sektor ini mencapai Rp721,3 triliun (sekitar US$44,1 miliar), 42,1 persen dari total realisasi investasi sebesar Rp1.714,2 triliun. Pertumbuhan industri pengolahan non-migas mencapai 4,75 persen, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,03 persen.
Tantangan Industri Manufaktur Indonesia
Namun, industri manufaktur dalam negeri menghadapi tantangan eksternal seperti produk impor, dinamika geopolitik, dan ekonomi global. Tantangan internal juga ada, terutama infrastruktur pendukung bagi pelaku usaha. Pemerintah berupaya mengatasi hal ini dengan membangun kawasan industri.
Kawasan industri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2024 tentang Kawasan Industri. Peraturan ini memberikan insentif fiskal, pembebasan bea masuk, dan infrastruktur pendukung bagi perusahaan di kawasan industri. Pemerintah optimis kawasan industri akan menarik investasi dan meningkatkan daya saing industri manufaktur dalam negeri. Hingga saat ini, terdapat 118 kawasan industri di Indonesia (55 di luar Jawa dan 63 di Jawa), menurut data Himpunan Kawasan Industri (HKI).
Kendati demikian, pengembangan kawasan industri menghadapi tantangan, terutama terkait kepastian keamanan dan utilitas industri.
Kepastian Keamanan di Kawasan Industri
Ketua HKI, Sanny Iskandar, menyebutkan intimidasi dari organisasi masyarakat menjadi penyebab masalah keamanan di kawasan industri. Organisasi masyarakat sering mengincar kawasan industri untuk memaksa keterlibatan dalam aktivitas perusahaan, misalnya sebagai penyedia makanan, bahan bangunan, dan pengelolaan limbah. Perusahaan biasanya menggunakan sistem lelang untuk transparansi dan memastikan kualitas penyedia jasa.
Bahkan ada kasus penyegelan kawasan industri oleh organisasi masyarakat, yang melanggar aturan karena kawasan industri merupakan objek vital nasional. Permasalahan ini masih sering terjadi di Cikarang, Karawang, Jawa Timur, dan Batam. Akibatnya, rencana dan investasi yang sudah masuk bisa dibatalkan, merugikan negara. Kementerian Perindustrian berupaya mencari solusi efektif untuk mengatasi kendala ini. Penanganan masalah ini tidak mudah, tetapi pemerintah akan memastikan koordinasi antar kementerian, lembaga, dan penegak hukum.
Alokasi Khusus HGBT untuk Kawasan Industri
Salah satu strategi pemerintah untuk mengatasi masalah utilitas di kawasan industri adalah subsidi gas melalui program Harga Gas Tertentu (HGBT). Pemerintah menargetkan harga gas murah untuk industri sebesar US$7 per juta British thermal units (MMBTU), setara dengan 29,41 liter solar. Saat ini, subsidi masih terbatas pada tujuh subsektor: pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Pemerintah berupaya agar semua subsektor dapat menikmati manfaat HGBT, terutama perusahaan yang membangun fasilitas produksi di kawasan industri. Program HGBT terbukti meningkatkan utilitas sektor penerima. Kontribusi manufaktur terhadap pendapatan nasional mencapai 18,98 persen. Terdapat 321 perusahaan penerima HGBT dengan alokasi gas industri 1.222,03 miliar BBTUD, dan alokasi listrik 1.231,22 BBTUD. Total dana yang dikeluarkan untuk HGBT pada tujuh subsektor mencapai Rp51,04 triliun. Nilai tambah yang dihasilkan mencapai Rp157,20 triliun, hampir tiga kali lipat dari dana awal. Penerima HGBT mengalami peningkatan nilai tambah ekspor sebesar Rp84,98 triliun dalam tiga tahun terakhir, peningkatan pajak Rp27,81 triliun, dan investasi baru Rp31,06 triliun.
Kesimpulan
Dengan memastikan keamanan dan memberikan subsidi gas bagi perusahaan di kawasan industri, diharapkan industri manufaktur tidak hanya tetap menjadi tulang punggung ekonomi, tetapi juga pendorong utama pertumbuhan ekonomi 8 persen dan peningkatan daya saing global industri dalam negeri.