Kebijakan AS Jadi Biang Keladi Pelemahan Rupiah, Sentuh Rp16.400 per Dolar AS?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kebijakan AS sebagai penyebab utama pelemahan nilai tukar rupiah yang tembus di atas Rp16.300 per dolar AS, diperparah oleh proyeksi defisit fiskal dan potensi risiko lainnya.

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menembus level Rp16.300 per dolar AS akhir-akhir ini telah menjadi sorotan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025 di Jakarta pada Kamis lalu, menyatakan bahwa kebijakan AS menjadi salah satu faktor utama penyebab pelemahan tersebut. Pernyataan ini disampaikan di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah yang cukup signifikan sejak awal tahun 2025.
Pada akhir 2024, nilai tukar rupiah berada di level Rp16.162 per dolar AS, dengan rata-rata tahunan Rp15.847 per dolar AS. Namun, sejak Januari 2025, rupiah terus melemah. Pada 10 Maret 2025, nilai tukar rupiah tercatat sebesar Rp16.340 per dolar AS, dan rata-rata tahun berjalan (year-to-date/ytd) mencapai Rp16.309 per dolar AS. Sri Mulyani menjelaskan, "Mulai Januari, dan terutama semenjak Presiden Donald Trump dilantik, begitu banyak kebijakan eksekutif Trump yang terus menerus menimbulkan gejolak. Gejolak ini dirasakan di seluruh dunia dan ini terefleksikan pada kurs rupiah."
Pelemahan ini juga diikuti oleh fluktuasi imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun. Pada 10 Maret 2025, imbal hasil SBN 10 tahun mencapai 6,88 persen, dengan rata-rata tahun berjalan (ytd) sebesar 6,98 persen. Meskipun Kementerian Keuangan meyakini bahwa imbal hasil SBN masih stabil dan kompetitif, potensi risiko dinamika global terhadap pasar keuangan domestik tetap diwaspadai dan dimitigasi.
Analisis Lebih Dalam: Fitch dan Ancaman Perang Dagang
Tidak hanya kebijakan AS, sejumlah faktor lain juga turut berkontribusi terhadap pelemahan rupiah. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, misalnya, menilai rilis rating dari Fitch turut mendorong pelemahan kurs rupiah. Fitch memang telah mengkonfirmasi rating kredit Indonesia di level ‘BBB’ dengan outlook stabil pada Selasa (11/3). Namun, lembaga pemeringkat tersebut juga menyoroti potensi ketidakpastian dari APBN, terutama dalam jangka menengah, dan memproyeksikan pelebaran defisit fiskal dalam beberapa tahun mendatang.
Fitch memproyeksikan defisit fiskal akan sedikit melebar menjadi 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun ini, lebih tinggi dari defisit APBN 2024 sebesar 2,29 persen. Selain itu, Fitch juga mencatat tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 akibat dinamika eksternal, seperti penurunan permintaan impor dari China dan kebijakan tarif tinggi AS. Potensi risiko kewajiban kontijensi yang mungkin timbul dari pembentukan Dana Kekayaan Negara (SWF) Danantara juga menjadi perhatian Fitch.
Ariston Tjendra, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, menambahkan bahwa ancaman perang dagang yang masih ditebar Presiden AS Donald Trump juga turut menjadi perhatian pasar. Ancaman kenaikan tarif ke negara lain membuat pasar tetap waspada terhadap potensi gejolak ekonomi global.
Berbagai faktor tersebut, menurut para analis, dapat menyebabkan rupiah bergerak di kisaran Rp16.400 per dolar AS, dengan potensi resistensi di sekitar Rp16.480 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan Kamis pagi, rupiah melemah tipis sebesar 1 poin (0,01 persen) menjadi Rp16.453 per dolar AS.
Kesimpulannya, pelemahan rupiah merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Kebijakan AS, proyeksi defisit fiskal, dan potensi risiko lainnya perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan otoritas terkait dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.