Koalisi Pemuda Desak Pengawasan Ketat Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Koalisi pemuda mendesak pengawasan ketat pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyusul kasus keracunan yang terjadi di sejumlah daerah, dan meminta evaluasi menyeluruh demi mencegah masalah serupa.

Kasus keracunan makanan yang terjadi di sejumlah daerah akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah mendorong Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ibnu Khaldun Bogor untuk mendesak pemerintah meningkatkan pengawasan dan evaluasi program tersebut. Program yang bertujuan mulia untuk mengatasi stunting dan malnutrisi ini, justru menimbulkan kekhawatiran publik terkait standar keamanan pangannya. Peristiwa ini terjadi di tengah data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen.
Menurut Advocacy Officer IYCTC, Nalsali Ginting, tujuan MBG sangat baik, yaitu meringankan beban finansial keluarga prasejahtera, menyediakan makanan bergizi untuk anak, dan mendorong pertumbuhan ekonomi UMKM. Namun, kasus keracunan menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat sejak dini. Ia menekankan pentingnya penyesuaian menu makanan dengan khasanah kuliner lokal untuk memudahkan adaptasi masyarakat dan menghindari hilangnya konteks budaya.
Nalsali juga mengingatkan pentingnya peran keluarga dalam menjaga pola makan sehat anak, bahkan di luar program MBG. "Jangan sampai anak sehat di sekolah karena MBG, tapi sampai rumah malah terkepung dengan paparan asap rokok dari orang tua," katanya, menyoroti risiko paparan asap rokok terhadap tumbuh kembang anak. Ia berharap program MBG dapat memberikan ruang bagi keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan anak.
Pengawasan Higienis dan Standar Operasional Prosedur (SOP)
Senada dengan IYCTC, Nailah Alifah Auliyaa dari BEM Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ibnu Khaldun Bogor menekankan pentingnya dasar hukum dan SOP yang jelas untuk menjamin higienitas dapur produksi MBG. Ia menyoroti pentingnya pengawasan pekerja dapur agar terhindar dari paparan zat berbahaya, termasuk asap rokok, yang dapat mengkontaminasi makanan. Lebih dari 1.000 kasus keracunan makanan terkait MBG, dengan Jawa Barat sebagai wilayah terbanyak, menjadi bukti perlunya evaluasi menyeluruh dan peningkatan sistem keamanan pangan.
Nailah mendesak pemerintah untuk mencegah kasus keracunan makanan, bukan hanya mengejar persentase keberhasilan yang tinggi. "Ini bukan hanya sekedar persentase keberhasilan 99,99 persen, tetapi ini terkait dengan mencegah agar tidak ada individu yang bukannya sehat, malah menjadi sakit akibat kelalaian program MBG ini," tegasnya. Ia juga menyarankan agar alokasi anggaran MBG diprioritaskan untuk kelompok paling rentan, yaitu ibu hamil dan balita dalam fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Penyesuaian konteks ini, menurut Nailah, penting agar program MBG tidak hanya bersifat seremonial, tetapi benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan. Dengan demikian, program MBG dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi penurunan angka stunting dan peningkatan kualitas gizi anak Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam mencapai Indonesia Emas 2045.
Rekomendasi:
- Peningkatan pengawasan dan evaluasi program MBG secara berkala dan menyeluruh.
- Penetapan standar operasional prosedur (SOP) yang ketat untuk menjamin higienitas dan keamanan pangan.
- Penyesuaian menu makanan dengan memperhatikan khasanah kuliner lokal.
- Peningkatan peran keluarga dalam menjaga pola makan sehat anak.
- Prioritas alokasi anggaran MBG untuk kelompok paling rentan (ibu hamil dan balita).
Dengan adanya pengawasan yang ketat dan evaluasi yang menyeluruh, diharapkan program MBG dapat berjalan efektif dan aman, serta memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, khususnya dalam upaya menekan angka stunting di Indonesia. Partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan organisasi pemuda, sangat penting untuk keberhasilan program ini.