Menkes Ungkap Alasan Banyak Pasien TBC Gagal Sembuh: Durasi Pengobatan Terlalu Lama
Menteri Kesehatan RI mengungkapkan tingginya angka kegagalan pengobatan TBC disebabkan lamanya durasi pengobatan dan banyaknya obat yang harus dikonsumsi pasien setiap hari, sehingga pemerintah berupaya memperpendek masa pengobatan dan mengembangkan vaksi

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan terkait tingginya angka kegagalan pengobatan Tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Dalam sesi diskusi kesehatan di Jakarta, Menkes menjelaskan bahwa lamanya durasi pengobatan dan jumlah obat yang harus dikonsumsi setiap hari menjadi penyebab utama banyak pasien TBC gagal sembuh. Hal ini menjadi perhatian serius mengingat TBC merupakan penyakit menular yang mematikan.
Menurut Menkes, pasien TBC umumnya harus mengonsumsi 4-6 tablet obat setiap hari selama 6-22 bulan tanpa putus. "Karena ini banyak yang gagal selesai minum obat, karena nggak tahan dia minum obat selama ini. Padahal kalau enggak tahan, enggak sembuh dia," ungkap Menkes Budi. Durasi pengobatan yang panjang dan jumlah obat yang banyak ini menjadi tantangan besar bagi pasien dalam menjalani pengobatan secara konsisten.
Ketidakpatuhan pasien dalam mengonsumsi obat secara teratur selama periode waktu yang lama menjadi faktor utama penyebab kegagalan pengobatan. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa banyak pasien merasa kesulitan untuk disiplin dalam mengonsumsi obat setiap hari selama berbulan-bulan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi inovatif untuk mengatasi permasalahan ini dan meningkatkan angka kesembuhan pasien TBC.
Upaya Pemerintah Percepat Pengobatan dan Kembangkan Vaksin TBC
Menyadari permasalahan ini, pemerintah telah mengambil langkah konkret untuk mempermudah pengobatan TBC. Pada tahun lalu, pemerintah telah memangkas durasi pengobatan TBC dari maksimal 22 bulan menjadi hanya 6 bulan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan karena durasi yang lebih singkat.
Tidak hanya itu, pemerintah juga tengah gencar melakukan uji klinis (clinical trial) terhadap vaksin M72. Vaksin ini diproyeksikan mampu menyembuhkan pasien TBC hanya dalam waktu 90 hari. "Sekarang kita lagi lakukan clinical trial, yang 6 bulan ini kita mau turunkan mungkin hanya 90 hari, terus lakukan kasus 1 suntikan," jelas Menkes Budi. Jika uji klinis berhasil, vaksin M72 akan menjadi terobosan signifikan dalam penanganan TBC.
Menkes Budi optimistis vaksin M72 akan efektif dalam mengendalikan TBC sebagai penyakit menular, sama seperti keberhasilan vaksin dalam menangani pandemi COVID-19. Beliau mencontohkan keberhasilan vaksin dalam memberantas penyakit mematikan seperti cacar. "Dulu pandemi yang mengerikan namanya cacar. Kalau saya dilihatin bahunya masih ada goresannya. Cuma Karena pandemi itu sudah hilang, adik-adik itu lengannya lebih mulus. Karena tidak (terkena) cacar," kata Budi.
TBC Sebagai Ancaman Kesehatan Global
Menkes Budi menekankan bahwa TBC merupakan penyakit menular yang paling banyak menyebabkan kematian di dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri, TBC telah merenggut 125 ribu nyawa setiap tahunnya, atau setara dengan dua kematian setiap lima menit. Angka kematian yang tinggi ini menunjukkan urgensi penanganan TBC yang lebih efektif dan komprehensif.
Dengan adanya upaya pemerintah dalam memperpendek durasi pengobatan dan pengembangan vaksin M72, diharapkan angka kesembuhan pasien TBC dapat meningkat signifikan. Hal ini akan berkontribusi pada penurunan angka kematian akibat TBC dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Upaya kolaboratif antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat sangat penting untuk mencapai tujuan ini.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini dan pengobatan TBC juga sangat krusial. Deteksi dini dapat membantu mencegah penyebaran TBC dan meningkatkan peluang kesembuhan. Dengan upaya bersama, diharapkan Indonesia dapat mengatasi permasalahan TBC dan menciptakan masyarakat yang lebih sehat.