Mensos Dukung BPS Perbaiki Indikator Kesejahteraan, Soroti Potensi Gejolak Statistik
Menteri Sosial Saifullah Yusuf mendukung upaya BPS memperbaiki indikator kesejahteraan, namun mengingatkan akan potensi dampak pada penilaian kinerja pemerintah.

Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menyatakan dukungannya terhadap Badan Pusat Statistik (BPS) dalam upaya memperbaiki indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat. Langkah ini dianggap positif dan relevan dengan tuntutan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Pemerintah menjadikan data BPS sebagai referensi utama dalam merumuskan kebijakan dan mengukur capaian program.
Pernyataan tersebut disampaikan Gus Ipul, sapaan akrab Saifullah, saat ditemui di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, pada Selasa (29/7). Kementerian Sosial pada prinsipnya akan mengikuti keputusan yang diambil oleh BPS terkait rencana pembaruan indikator kesejahteraan ini. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menggunakan data yang paling akurat dan mutakhir.
Namun, Gus Ipul juga menyoroti adanya potensi dampak signifikan jika terjadi perubahan indikator secara drastis. Perubahan tersebut, menurutnya, dapat memengaruhi penilaian terhadap kinerja pemerintah, termasuk kinerja Kementerian Sosial. Oleh karena itu, perlu ada pertimbangan matang dalam implementasi perubahan ini agar tidak menimbulkan kesalahpahaman publik.
Dukungan dan Tantangan Perbaikan Indikator Kesejahteraan
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyambut baik inisiatif BPS untuk menerima masukan dan memperbaiki indikator kesejahteraan masyarakat. Dukungan ini didasari oleh kebutuhan akan data yang lebih relevan dan akurat seiring dinamika sosial dan ekonomi yang terus berkembang. Data yang valid sangat krusial bagi pemerintah dalam merancang program-program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup.
Meski demikian, Gus Ipul mengemukakan kekhawatiran mengenai apa yang disebutnya sebagai “gejolak-gejolak statistik”. Gejolak ini bisa terjadi jika parameter pengukuran kesejahteraan diubah tanpa adanya acuan pembanding yang jelas. Sebagai contoh, jika garis kemiskinan yang semula Rp500.000 per kapita per bulan dinaikkan menjadi Rp700.000, maka secara statistik jumlah penduduk miskin bisa terlihat meningkat, padahal yang berubah adalah ukurannya.
Situasi serupa pernah terjadi pada penentuan kemiskinan ekstrem, di mana batas ukur dinaikkan dari sekitar Rp300.000 menjadi Rp400.000. Akibatnya, pada periode pengukuran yang sama, angka kemiskinan ekstrem seolah-olah naik. Fenomena ini dapat menimbulkan persepsi yang keliru di masyarakat mengenai efektivitas program pemerintah.
Pentingnya Dua Ukuran untuk Akuntabilitas Kinerja
Menyikapi potensi gejolak statistik tersebut, Gus Ipul berharap BPS dapat mengakomodasi penggunaan dua ukuran indikator. Artinya, indikator lama tetap digunakan sebagai pembanding bersamaan dengan indikator baru yang diperbaiki. Pendekatan ini dinilai penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah.
Penggunaan indikator lama secara paralel akan memungkinkan masyarakat dan pemerintah untuk melihat progres kinerja dari waktu ke waktu tanpa terdistorsi oleh perubahan metodologi. Ini akan memberikan gambaran yang lebih jujur mengenai capaian program-program sosial. Data yang konsisten memungkinkan evaluasi yang lebih objektif terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan.
Gus Ipul meyakini bahwa harapan untuk memiliki dua pengukuran ini akan diakomodasi oleh BPS. Dengan demikian, kinerja pemerintah akan tetap terukur dengan baik dan akurat seiring perkembangan waktu. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.