OJK Ingatkan Bank Sulteng Antisipasi Kecurangan: 19 Kasus Fraud Terjadi di Tahun 2024
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Tengah mengingatkan Bank Sulteng untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kecurangan setelah ditemukan 19 kasus fraud pada tahun 2024, meningkat drastis dari 4 kasus di tahun sebelumnya.

Palu, 15 Mei 2024 - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Sulawesi Tengah memberikan peringatan serius kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau Bank Sulteng terkait peningkatan kasus kecurangan (fraud) yang terjadi. Peningkatan kasus ini menjadi perhatian utama mengingat angka fraud di tahun 2024 mencapai 19 kasus, jauh meningkat dibandingkan tahun 2023 yang hanya mencatat 4 kasus. Hal ini mendorong OJK untuk menekankan pentingnya langkah antisipatif guna mencegah kerugian lebih lanjut dan menjaga stabilitas perbankan daerah.
Kepala OJK Sulteng, Bonny Hardi Putra, saat dihubungi di Palu pada Kamis lalu, menegaskan komitmen OJK terhadap zero tolerance terhadap fraud. "Setuju dengan perbankan itu tidak boleh ada fraud. Zero tolerant fraud atau nol toleransi fraud," tegas Bonny. Pernyataan ini menggarisbawahi keseriusan OJK dalam menangani masalah ini dan menekankan perlunya tindakan pencegahan yang lebih efektif di masa mendatang.
OJK Sulteng mengakui telah melakukan pengawasan ketat terhadap Bank Sulteng dan terus memonitor proses penyelesaian kasus-kasus fraud yang telah terjadi. Namun, detail langkah pengawasan tersebut dirahasiakan demi efektivitas strategi pencegahan. "Kami tidak dapat menginformasikan kepada pihak lain, terkait langkah-langkah pengawasan yang sangat rahasia," ungkap Bonny. Kerahasiaan ini bertujuan untuk mencegah tindakan kontraproduktif dari pihak-pihak yang berpotensi melakukan kecurangan.
Peningkatan Kasus Fraud dan Sanksi yang Diterapkan
Laporan Tata Kelola Bank Sulteng tahun 2024 menunjukkan fakta mengejutkan: 19 kasus fraud dilakukan oleh pegawai tetap bank tersebut. Kasus-kasus ini tengah ditangani melalui jalur hukum, menunjukkan komitmen Bank Sulteng dalam menyelesaikan masalah secara transparan dan akuntabel. Langkah hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan mencegah terulangnya tindakan serupa.
Sanksi yang diberikan kepada para pelaku fraud bervariasi, tergantung pada tingkat keseriusan pelanggaran. Dua orang pelaku dipecat melalui pemutusan hubungan kerja (PHK), sementara lainnya menerima sanksi berupa Surat Peringatan II (SP II), surat teguran, dan kewajiban membayar ganti rugi. Variasi sanksi ini menunjukkan upaya Bank Sulteng untuk memberikan hukuman yang sebanding dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Meskipun telah memberikan sanksi tegas, peningkatan kasus fraud ini tetap menjadi perhatian serius. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal Bank Sulteng. Sistem yang lemah akan membuka celah bagi terjadinya kecurangan, sehingga perlu diperkuat untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Peran SKAI dan Unit Anti-Fraud dalam Pencegahan
Bank Sulteng, seperti lembaga perbankan lainnya, telah memiliki Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) dan Unit Anti-Fraud sebagai lini pertahanan ketiga (third line of defense) dalam mencegah kecurangan. Kedua unit ini berada di bawah kewenangan Direktur Utama dan berperan penting dalam mengawasi dan mendeteksi potensi fraud di dalam bank.
Namun, peningkatan kasus fraud menunjukkan bahwa sistem yang ada mungkin belum sepenuhnya efektif. OJK Sulteng kemungkinan besar akan merekomendasikan peningkatan kapasitas SKAI dan Unit Anti-Fraud, termasuk pelatihan dan peningkatan teknologi untuk mendeteksi kecurangan secara lebih efektif. Peningkatan kualitas sumber daya manusia di kedua unit ini juga sangat penting.
Selain itu, perlu adanya review terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang ada di Bank Sulteng. SOP yang kurang ketat dan ambigu dapat dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kecurangan. Oleh karena itu, perlu adanya revisi dan penyempurnaan SOP untuk menutup celah-celah yang ada.
Penting bagi Bank Sulteng untuk tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada pencegahan. Pencegahan yang efektif memerlukan komitmen dari seluruh pihak, mulai dari manajemen puncak hingga staf operasional. Budaya integritas dan transparansi harus ditanamkan dalam organisasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang bersih dari kecurangan.
Kejadian ini menjadi pembelajaran penting bagi seluruh lembaga perbankan di Indonesia, khususnya BPD. Pencegahan fraud memerlukan pengawasan yang ketat, sistem yang kuat, dan komitmen dari seluruh pihak yang terlibat. Dengan demikian, stabilitas dan kepercayaan publik terhadap sektor perbankan dapat tetap terjaga.