Perubahan UU Minerba: Kampus di Persimpangan Jalan, Antara Riset dan Potensi Konflik Kepentingan
Perubahan UU Minerba memicu kekhawatiran atas potensi konflik kepentingan di perguruan tinggi, antara peran riset untuk transisi energi terbarukan dan kemitraan dengan industri pertambangan.

Jakarta, 21 Februari 2024 - Perubahan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang keempat menimbulkan kekhawatiran akan peran perguruan tinggi di Indonesia. Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, mengingatkan potensi konflik kepentingan yang dapat menghambat upaya transisi energi terbarukan. Pasal-pasal baru dalam UU Minerba memberikan prioritas kepada BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta untuk memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi, dengan imbalan sebagian keuntungan. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana perguruan tinggi dapat mempertahankan independensi dan objektivitas ilmiahnya dalam situasi ini.
Sartika menekankan pentingnya perguruan tinggi untuk kembali pada Tridarma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat. Ia berpendapat bahwa peran kampus seharusnya lebih luas dari sekadar pendidikan, mencakup upaya mengatasi tantangan global seperti ketimpangan sosial dan krisis iklim. Namun, keterlibatan dengan industri pertambangan berpotensi menghambat penelitian dan pengembangan teknologi energi terbarukan, terutama karena keterbatasan sumber daya dan potensi konflik kepentingan.
Kekhawatiran ini semakin besar mengingat pemangkasan anggaran pendidikan yang berdampak pada biaya operasional perguruan tinggi. Dengan ketergantungan pada kemitraan dengan industri pertambangan, kemandirian dan objektivitas riset perguruan tinggi dalam mendukung transisi energi terbarukan menjadi sangat rentan. Sartika memperingatkan potensi perguruan tinggi "dibungkam" dan dipaksa mendukung kebijakan yang menguntungkan badan usaha, meskipun tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
Potensi Konflik Kepentingan dan Hambatan Transisi Energi
Sartika menjelaskan bahwa pasal 51A dan 60A ayat 1 UU Minerba mengatur pemberian WIUP kepada BUMN, BUMD, atau perusahaan swasta untuk kepentingan perguruan tinggi. Meskipun perguruan tinggi tidak langsung menerima izin WIUP, ayat 3 dalam kedua pasal tersebut menyebutkan pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian kerja sama. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana perguruan tinggi dapat menyeimbangkan kepentingan riset dan pengembangan teknologi energi terbarukan dengan potensi keuntungan dari kemitraan dengan industri pertambangan yang dominan di sektor batu bara.
Lebih lanjut, Sartika menyoroti dominasi BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta dalam bisnis batu bara yang berpotensi menghambat transisi ke energi terbarukan. Ketergantungan pada industri pertambangan dapat membatasi kemampuan perguruan tinggi untuk melakukan penelitian yang kritis dan independen terhadap praktik pertambangan yang kurang berkelanjutan. Objektivitas ilmiah dan basis data yang akurat menjadi sangat penting dalam mendorong transisi energi, dan hal ini terancam oleh potensi konflik kepentingan.
Ia menambahkan bahwa beberapa perguruan tinggi mungkin akan mengalami kesulitan dalam mendorong penelitian terkait teknologi energi terbarukan karena keterbatasan sumber daya atau konflik kepentingan dengan mitra industri yang tidak mendukung transisi energi. Hal ini menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dan kemitraan antara perguruan tinggi dan industri pertambangan.
Pengalaman Masa Lalu dan Perlunya Kewaspadaan
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengingatkan pentingnya pemerintah belajar dari pengalaman pengelolaan pertambangan 10 tahun lalu. Ribuan izin tambang saat itu tidak memenuhi kewajiban keuangan, seperti pajak, royalti, dan landrent, serta kewajiban lingkungan seperti AMDAL, reklamasi, dan pascatambang.
Aryanto menekankan banyaknya aspek teknis, lingkungan, dan keuangan yang harus dipenuhi untuk menghindari risiko. Pengalaman ini harus menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah dalam mengawasi dan mengatur pengelolaan pertambangan di masa depan, termasuk memastikan perguruan tinggi tetap dapat menjalankan peran tri darma perguruan tinggi secara independen dan objektif.
Perubahan UU Minerba ini menghadirkan tantangan signifikan bagi perguruan tinggi Indonesia. Di satu sisi, terdapat potensi peningkatan pendanaan riset melalui kemitraan dengan industri pertambangan. Namun, di sisi lain, terdapat risiko besar terhadap independensi dan objektivitas riset, terutama dalam konteks transisi energi. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang lebih jelas dan mekanisme pengawasan yang ketat untuk memastikan perguruan tinggi dapat menjalankan peran pentingnya dalam pembangunan berkelanjutan, tanpa terbebani oleh potensi konflik kepentingan.
Ke depan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pertambangan dan kemitraan dengan perguruan tinggi menjadi kunci. Perguruan tinggi harus mampu mempertahankan integritas ilmiah dan independensi risetnya, agar dapat memberikan kontribusi nyata bagi transisi energi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.