Terdakwa TPPO Kota Malang Didakwa Tujuh Pasal Alternatif, Ancaman Penjara 9 Tahun Lebih
Dua terdakwa kasus TPPO di Kota Malang, HNR dan DPP, didakwa dengan tujuh pasal alternatif dengan ancaman hukuman penjara lebih dari sembilan tahun, menimbulkan pertanyaan dari pihak terdakwa.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Malang mendakwa dua terdakwa kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), HNR dan DPP, dengan tujuh pasal alternatif. Kedua terdakwa diduga terlibat dalam kegiatan ilegal di tempat penampungan calon pekerja migran Indonesia (CPMI). Sidang perdana kasus ini digelar di Pengadilan Negeri Malang pada Rabu, 30 April 2024.
Dakwaan tersebut meliputi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO juncto Pasal 55 ke-1 KUHP, Pasal 4, Pasal 10 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang TPPO, Pasal 81 dan 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 85 huruf c jo. Pasal 71 huruf c dan Pasal 85 huruf d jo. Pasal 71 huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman pidana penjara yang dihadapi terdakwa mencapai lebih dari 9 tahun.
Sidang perdana ini baru sebatas pembacaan dakwaan, belum sampai pada tahap pembuktian pokok perkara. Sidang selanjutnya dijadwalkan pada Rabu, 7 Mei 2024, dengan agenda eksepsi dari pihak terdakwa. Hal ini memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk memberikan tanggapan atas dakwaan yang dilayangkan JPU.
Tanggapan Pihak Terdakwa dan Dewan Pertimbangan Nasional SBMI
Kuasa hukum terdakwa, Zainal Arifin, mempertanyakan legalitas dakwaan tersebut. "Perusahaannya legal, ada akta, dan sah untuk prosesnya. Kalau semuanya benar, apakah dikatakan TPPO?" ujar Zainal Arifin mempertanyakan dasar hukum dakwaan JPU. Pernyataan ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara pihak terdakwa dan JPU terkait legalitas perusahaan dan proses perekrutan CPMI.
Di sisi lain, Dewan Pertimbangan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Dina Nuriyati, menyatakan bahwa dakwaan jaksa sudah sesuai dengan temuan di lapangan. Dina menjelaskan, "Menunjukkan ada indikasi eksploitasi, informasi dari korban menyebut dipindah dari perusahaan ke rumah pribadi. Ini hal yang menyalahi aturan," mengungkapkan adanya dugaan eksploitasi yang menjadi dasar dakwaan JPU.
Pernyataan Dina Nuriyati menguatkan dugaan adanya pelanggaran hukum dalam proses perekrutan dan penempatan CPMI. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi terhadap bukti dan fakta yang ada dalam kasus ini. Proses hukum selanjutnya akan menentukan kebenaran dari masing-masing argumen.
Tujuh Pasal Alternatif dan Ancaman Pidana
JPU mendakwa terdakwa dengan tujuh pasal alternatif, menunjukkan kompleksitas kasus TPPO ini. Setiap pasal memiliki unsur dan elemen yang berbeda, yang akan diuji dalam proses persidangan. Ancaman hukuman penjara lebih dari sembilan tahun menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus TPPO.
Dakwaan alternatif ini memberikan fleksibilitas bagi JPU dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Hal ini juga menunjukkan bahwa JPU telah mempersiapkan berbagai kemungkinan skenario dalam persidangan.
Proses persidangan selanjutnya akan menjadi kunci untuk mengungkap kebenaran dan keadilan dalam kasus ini. Baik pihak terdakwa maupun JPU akan berupaya untuk membuktikan argumen mereka masing-masing.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan pekerja migran Indonesia. Perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap proses perekrutan dan penempatan CPMI untuk mencegah terjadinya eksploitasi dan pelanggaran hukum lainnya.
Kesimpulan
Sidang perdana kasus TPPO di Kota Malang telah digelar, dengan dakwaan tujuh pasal alternatif terhadap dua terdakwa. Perbedaan pandangan antara pihak terdakwa dan JPU akan diuji dalam persidangan selanjutnya. Kasus ini menjadi sorotan penting dalam upaya perlindungan pekerja migran Indonesia dan penegakan hukum di Indonesia.