UMKM: Jalan Tengah untuk Kesejahteraan Pengemudi Ojol?
Ekonom menyoroti usulan pemerintah agar pengemudi ojol masuk kategori UMKM sebagai solusi menyeimbangkan fleksibilitas kerja dan akses manfaat.

Jakarta, 1 Mei 2024 (ANTARA) - Perdebatan mengenai status kerja pengemudi ojek online (ojol) memasuki babak baru. Usulan pemerintah untuk memasukkan mitra pengemudi ojol ke dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dinilai sejumlah ekonom sebagai jalan tengah yang ideal. Solusi ini diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara fleksibilitas kerja yang selama ini dinikmati para pengemudi dengan akses terhadap berbagai manfaat dan perlindungan.
Gagasan ini muncul sebagai respon atas dilema yang dihadapi para pengemudi ojol. Di satu sisi, mereka menghargai fleksibilitas dalam mengatur waktu dan jam kerja. Di sisi lain, mereka juga membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial yang memadai. UMKM dinilai dapat menjadi solusi yang mengakomodasi kedua aspek tersebut.
Izzudin Al Farras, Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyatakan bahwa masuknya pengemudi ojol ke dalam kategori UMKM dapat memberikan keuntungan signifikan. "Jika aspek tentang kerangka kebijakan yang memastikan bahwa pengemudi ojol harus terdaftar sebagai UMKM itu ada, maka ini membuka kesempatan bagi pengemudi untuk mendapatkan benefit sebagai pelaku usaha, misalnya terkait pelatihan literasi keuangan dan literasi digital," ujar Izzudin seperti dikutip dari keterangan resmi Grab Indonesia.
Pendapat Para Ekonom Terhadap Status Pengemudi Ojol
Izzudin menambahkan, status UMKM juga berpotensi memberikan akses terhadap jaminan sosial yang lebih baik bagi para pengemudi. Senada dengan Izzudin, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), mendukung usulan tersebut. Namun, ia menekankan pentingnya pengaturan yang tepat di bawah naungan Kementerian UMKM.
Nailul Huda juga menyoroti pentingnya kemitraan yang setara antara perusahaan aplikasi ojol dan para pengemudi. "Atas dasar itu pula, bentuk kemitraan tidak boleh seperti tenaga kerja yang mengharuskan bekerja sekian jam dan sebagainya. Aturan juga harus dibuat bersama dengan asosiasi driver dengan konsep setara, termasuk tarif," imbuhnya. Sementara itu, pertimbangan lain muncul dari Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara. Ia mengingatkan perlunya mempertimbangkan keberlanjutan industri dan akses masyarakat terhadap lapangan kerja.
Agung Yudha berpendapat bahwa menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap berpotensi mengubah keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan akses ekonomi. "Menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap dapat mengubah keseimbangan yang sudah ada antara fleksibilitas kerja dan akses ekonomi," katanya. Ia menambahkan, perubahan status tersebut dapat menghilangkan karakter inklusivitas yang selama ini menjadi ciri khas sektor ini.
Di sisi lain, Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap usulan menjadikan pengemudi ojol sebagai karyawan tetap. Ia berpendapat bahwa kebijakan tersebut justru dapat merugikan ekosistem transportasi digital yang telah terbentuk. "Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu," jelasnya.
Tirza juga memprediksi potensi lonjakan biaya operasional perusahaan jika para pengemudi berstatus karyawan tetap. "Biaya operasional bisa melonjak, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang harus dibayar oleh konsumen," ujarnya. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan multipihak yang perlu dikaji secara matang sebelum mengambil keputusan.
Mencari Solusi yang Optimal
Perdebatan seputar status kerja pengemudi ojol menyoroti kompleksitas isu ketenagakerjaan di era ekonomi digital. Di satu sisi, fleksibilitas kerja menjadi daya tarik utama bagi para pengemudi. Di sisi lain, perlindungan dan jaminan sosial juga menjadi kebutuhan yang tak kalah penting. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat mengakomodasi kedua aspek tersebut secara seimbang.
Usulan menjadikan pengemudi ojol sebagai bagian dari UMKM tampaknya menawarkan jalan tengah yang layak dipertimbangkan. Namun, perlu adanya pengaturan yang tepat dan komprehensif untuk memastikan agar para pengemudi benar-benar mendapatkan manfaat dan perlindungan yang optimal. Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan aplikasi, dan asosiasi pengemudi menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini.
Ke depannya, perlu dilakukan kajian lebih mendalam untuk memastikan bahwa skema UMKM ini benar-benar memberikan dampak positif bagi kesejahteraan pengemudi ojol tanpa mengorbankan fleksibilitas dan daya saing industri transportasi digital di Indonesia. Penting untuk diingat bahwa tujuan utama adalah menciptakan sistem yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.