Pentingnya Jaminan Sosial untuk Pengemudi Ojol dan Kurir di Indonesia
Peneliti UGM soroti pentingnya perlindungan sosial bagi pengemudi ojol dan kurir di Indonesia, mendesak pemerintah tinjau ulang status kemitraan semu dan berikan jaminan seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana? Peneliti dari Institute of Government and Public Affairs Universitas Gadah Mada (UGM), Arif Novianto, pada Selasa, 29 April, menekankan perlunya jaminan sosial bagi pengemudi ojek online (ojol) dan kurir di Indonesia. Hal ini penting untuk melindungi mereka dari kemiskinan dan risiko kerja yang tinggi. Pernyataan ini muncul sebagai respon atas kondisi kerja para pengemudi ojol dan kurir yang seringkali dihadapkan pada jam kerja panjang dan minimnya perlindungan sosial. Kondisi ini dinilai tidak adil dan perlu adanya perubahan regulasi untuk melindungi mereka.
Arif Novianto menyatakan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi ojol/kurir tidak lagi mencerminkan kemitraan sejati. Perusahaan mengambil keuntungan besar dari setiap transaksi, sementara pengemudi menanggung risiko kerja yang tinggi tanpa jaminan sosial yang memadai. Kondisi ini diperparah dengan penetapan tarif yang seringkali hanya ditentukan sepihak oleh perusahaan aplikasi.
Data survei menunjukkan bahwa sebagian besar pengemudi ojol dan kurir mengalami risiko kerja akibat kelelahan dan jam kerja yang panjang, namun hanya sebagian kecil yang memiliki jaminan sosial. Kondisi ini menunjukkan urgensi perlindungan sosial yang lebih baik bagi para pekerja di sektor ekonomi digital ini. Pemerintah didesak untuk segera mengambil tindakan untuk mengatasi permasalahan ini.
Status Kemitraan Semu dan Tuntutan Jaminan Sosial
Arif Novianto mengkritik status kemitraan yang selama ini diterapkan oleh perusahaan aplikasi terhadap para pengemudi ojol dan kurir. Ia berpendapat bahwa status tersebut tidak adil dan merugikan para pengemudi. “Kalau kita lihat dari sudut pandang yang lebih kritis, dalam hubungan kemitraan seharusnya ada aspek saling memperkuat dan setara. Tapi pada praktiknya, keputusan diambil sepihak oleh perusahaan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arif menjelaskan bahwa perusahaan aplikasi telah mengambil keuntungan yang cukup besar dari setiap transaksi, sementara pengemudi menanggung risiko kerja yang tinggi tanpa jaminan yang memadai. “Artinya kalau memang ingin menciptakan iklim atau ekosistem ekonomi digital itu baik, maka mereka (platform) harus melindungi driver-nya. Jangan sampai kemudian driver-nya sakit dibiarkan, driver-nya kecelakaan mereka tidak bertanggung jawab,” tegasnya.
Survei yang dilakukan oleh lembaga Arif menunjukkan fakta yang memprihatinkan. Hampir 70-80 persen pengemudi ojol dan kurir pernah mengalami risiko kerja akibat kelelahan bekerja lebih dari 13 jam per hari. Ironisnya, kurang dari 40 persen memiliki jaminan sosial yang memadai.
Arif juga menyoroti perubahan sikap para pengemudi. Banyak dari mereka yang kini menginginkan status sebagai pekerja formal dengan jaminan upah, jaminan sosial, dan biaya operasional yang ditanggung perusahaan. “Sekarang sekitar 58 persen driver ingin menjadi pekerja,” katanya.
Perbandingan dengan Negara Lain dan Peran Pemerintah
Arif Novianto membandingkan situasi di Indonesia dengan beberapa negara lain seperti Inggris, Belanda, dan Swiss. Di negara-negara tersebut, pengemudi platform digital telah dikategorikan sebagai pekerja karena telah memenuhi tiga unsur hubungan kerja: ada upah, ada perintah, dan ada pekerjaan dari platform.
Ia mendorong pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), untuk meninjau ulang klasifikasi hubungan kerja ini dan mengakhiri “kemitraan semu” yang merugikan para pengemudi ojol dan kurir. “Di negara-negara tersebut, driver platform tidak bisa lagi disebut mitra karena sudah terpenuhi tiga unsur hubungan kerja: ada upah, ada perintah, dan ada pekerjaan dari platform. Maka sudah seharusnya mereka dikategorikan sebagai pekerja,” jelas Arif.
Arif juga mendesak Kemnaker untuk lebih proaktif dalam melindungi pengemudi daring agar tidak terus dirugikan oleh hubungan kerja yang timpang. Hal ini penting untuk menciptakan ekosistem ekonomi digital yang lebih adil dan berkelanjutan.
Senada dengan Arif, Manyono (58), seorang pengemudi ojol, mengungkapkan bahwa hingga kini para pengemudi belum mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan yang layak dari perusahaan aplikasi. Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sepenuhnya dibebankan kepada pengemudi tanpa dukungan dari perusahaan.
Tanggapan Pemerintah dan Langkah ke Depan
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan, menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan regulasi terkait tarif, hak, dan perlindungan bagi mitra pengemudi ojol, termasuk pemberian bonus hari raya. Regulasi ini akan melibatkan berbagai pihak, termasuk aplikator dan kementerian terkait.
Namun, Wamenaker juga menyebutkan bahwa masih ada sejumlah evaluasi penting yang perlu dilakukan sebelum regulasi tersebut disusun. “Karena masing-masing ini beda karakter, beda iklim bisnisnya. Nanti kita cari formulasinya yang tepat. Karena kita tidak mau membuat regulasi malah merugikan,” ujarnya.
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan (HKP) Kemnaker, Dhatun Kuswandari, menambahkan bahwa pembuatan regulasi ini tidak hanya melibatkan Kemensetneg, Kemnaker, dan aplikator, tetapi juga kementerian/lembaga lain seperti Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo).
Kesimpulannya, isu perlindungan sosial bagi pengemudi ojol dan kurir di Indonesia merupakan permasalahan yang kompleks dan membutuhkan solusi komprehensif dari berbagai pihak. Perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan aplikasi, dan para pengemudi untuk menciptakan sistem yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan.