UU TNI Baru Bukan Kembalinya Dwifungsi, Melainkan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
UU TNI yang baru disahkan menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI, namun sebenarnya hal tersebut merujuk pada perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang bertujuan meningkatkan efektivitas pertahanan dan penegakan hukum.

UU TNI yang baru disahkan telah menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat terkait kemungkinan kembalinya dwifungsi TNI, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Dwifungsi ABRI saat itu ditandai dengan keterlibatan aktif militer dalam jabatan-jabatan politik, mulai dari tingkat desa hingga pemerintahan pusat, bahkan memiliki fraksi di DPR. Namun, kekhawatiran tersebut dinilai berlebihan. Pasal-pasal dalam UU TNI yang mengatur penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil, sebenarnya merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
OMSP, atau Military Operation Other Than War (MOOTW) dalam terminologi Amerika Serikat, merupakan konsep operasi militer yang fokus pada pencegahan perang, penyelesaian konflik, promosi perdamaian, dan dukungan otoritas sipil dalam menghadapi krisis domestik. Konsep ini telah berkembang secara global, dengan berbagai negara menyesuaikannya dengan kepentingan nasional masing-masing. Amerika Serikat, misalnya, telah menghilangkan dikotomi formal antara operasi militer perang dan non-perang, menempatkannya pada kontinum konflik.
Di Indonesia, penerapan OMSP dalam UU TNI terbaru memiliki cakupan yang lebih luas. Selain berfokus pada pencegahan konflik seperti separatisme dan terorisme, serta pengamanan presiden dan perbatasan, OMSP juga mencakup tugas pembantuan bersama pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas operasi dan pengawasan militer, bukan untuk kembali ke sistem dwifungsi.
OMSP: Memperkuat Koordinasi, Bukan Kembali ke Dwifungsi
UU TNI secara spesifik membatasi penempatan prajurit TNI aktif hanya pada 14 kementerian/lembaga yang terkait langsung dengan pertahanan negara atau penegakan hukum bagi TNI itu sendiri. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), dan Kejaksaan Agung bidang Tindak Pidana Militer. Data dari Mabes TNI menunjukkan terdapat 4.472 prajurit aktif yang tersebar di 14 K/L tersebut, sebagian besar berada di Kementerian Pertahanan.
Penempatan ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan efektivitas OMSP dalam berbagai bidang, seperti penanggulangan bencana melalui BNPB, penanggulangan terorisme melalui BNPT, dan pengumpulan informasi intelijen melalui BIN. Dengan demikian, peran TNI dalam OMSP lebih difokuskan pada keahlian dan kapasitas mereka dalam mendukung tugas-tugas pemerintahan yang memerlukan keahlian khusus, bukan untuk menduduki jabatan politik.
Kehadiran prajurit TNI di lembaga-lembaga tersebut bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kerja dan pengawasan, bukan untuk tujuan politik. Hal ini penting untuk membedakan OMSP dengan dwifungsi TNI yang pernah diterapkan di masa lalu. Dengan adanya batasan yang jelas, diharapkan kekhawatiran masyarakat terkait kembalinya dwifungsi TNI dapat teratasi.
Menjaga Keseimbangan Kekuatan Sipil dan Militer
Meskipun OMSP memperluas interaksi antara militer dan lembaga sipil, hal ini tidak serta merta berarti kembalinya dwifungsi TNI. TNI perlu mengembangkan doktrin OMSP yang transparan dan terbuka untuk menghilangkan kekhawatiran publik. Koordinasi dan kolaborasi yang baik antara kekuatan sipil dan militer sangat penting untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional.
Penting untuk memahami bahwa penempatan prajurit TNI di berbagai lembaga pemerintahan dalam konteks OMSP bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan koordinasi dalam menghadapi berbagai tantangan keamanan dan pembangunan nasional. Bukan untuk mengembalikan sistem dwifungsi yang telah ditinggalkan sejak era reformasi. Dengan demikian, sinergi antara militer dan sipil diharapkan dapat terwujud untuk membangun Indonesia yang lebih kuat dan tangguh.
Pada akhirnya, penting bagi TNI untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan OMSP. Komunikasi yang efektif dengan publik sangat krusial untuk menghilangkan kesalahpahaman dan membangun kepercayaan. Dengan demikian, peran TNI dalam OMSP dapat dijalankan secara optimal tanpa menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi.
*) Ngasiman Djoyonegoro adalah analis intelijen, pertahanan dan keamanan