Ketua Umum IHGMA, I Gede Arya Pering Arimbawa, memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah terkait efisiensi anggaran yang berdampak pada sektor perhotelan, termasuk pemanfaatan fasilitas hotel dan strategi diversifikasi pasar.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan penurunan tingkat penghunian kamar hotel bintang di Indonesia pada Februari 2025, baik secara tahunan maupun bulanan, dengan penurunan terdalam terjadi di Papua Selatan, Papua Barat, dan Bali.

Tingkat hunian hotel di Cianjur selama Lebaran 2025 anjlok hingga 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya, hanya mencapai 49 persen akibat melemahnya ekonomi dan penurunan arus mudik.

Wakil Menteri Pariwisata RI menilai lulusan pariwisata Indonesia sangat diminati dunia kerja internasional, namun menekankan pentingnya persiapan matang untuk menghadapi tantangan global.

Pemesanan kamar hotel di Kota Batu menjelang Lebaran 2025 telah mencapai 50 persen, hampir sama dengan tahun sebelumnya, meskipun okupansi saat ini masih rendah.

PHRI dan GIPI mendesak pemerintah memberikan relaksasi pajak dan bantuan finansial untuk menyelamatkan industri perhotelan yang terdampak pemotongan anggaran pemerintah.

Asosiasi Pariwisata Nasional (Asparnas) meminta pemerintah segera memberikan solusi atas penurunan omzet industri perhotelan akibat efisiensi anggaran pemerintah yang berdampak pada penurunan okupansi dan potensi PHK.

Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah berpotensi menurunkan omzet perhotelan hingga triliunan rupiah, terutama karena sektor pemerintahan berkontribusi besar pada okupansi hotel di Indonesia.

Lembaga Pendidikan dan Keterampilan (LPK) Kuas IHS Boyolali bermitra dengan IHS untuk mencetak 100 tenaga terampil perhotelan per tahun, memenuhi kebutuhan pasar global yang kekurangan tenaga kerja Indonesia di sektor ini.

Ketua PHRI Malang menyatakan belum ada dampak signifikan dari efisiensi anggaran terhadap industri perhotelan di Kota Malang, meskipun okupansi hotel tetap tinggi.