Analisis PP No. 6 Tahun 2025: Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Tantangannya
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2025 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menawarkan kompensasi lebih baik bagi pekerja yang terkena PHK, namun keberlanjutan pendanaan, pengawasan, dan efektivitas pelatihan perlu dikaji.

Jakarta, 17 Februari 2025 - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) resmi berlaku, memberikan kompensasi 60 persen upah selama enam bulan bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kebijakan ini menjadi sorotan, menjanjikan perlindungan lebih baik bagi buruh dibandingkan regulasi sebelumnya yang muncul pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.
JKP: Solusi Jangka Panjang atau Tambal Sulam?
Sebelum UU Cipta Kerja, pesangon pekerja mencapai 32 kali upah. UU Cipta Kerja memangkasnya menjadi maksimal 19 kali upah, ditambah JKP dari BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya hanya menjamin 45 persen upah selama tiga bulan pertama dan 25 persen untuk tiga bulan berikutnya. PP terbaru ini jelas peningkatan signifikan, namun apakah cukup untuk mengatasi permasalahan ketenagakerjaan yang lebih kompleks?
Tantangan utama terletak pada keberlanjutan pendanaan JKP. Jika dana sepenuhnya berasal dari iuran BPJS Ketenagakerjaan, jumlah peserta, kepatuhan pembayaran iuran, dan strategi investasi BPJS harus mampu menopang program ini jangka panjang tanpa membebani APBN atau menciptakan defisit. Transparansi pengelolaan dana menjadi sangat krusial.
Penguatan Pengawasan dan Pencegahan PHK
Aspek pengawasan juga perlu diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan kebijakan. Ada kekhawatiran bahwa perusahaan mungkin lebih mudah melakukan PHK karena adanya jaminan kompensasi bagi pekerja. Aturan ketat mengenai mekanisme PHK yang adil dan sanksi tegas bagi perusahaan yang melakukan PHK sewenang-wenang sangat diperlukan. Wajibnya perusahaan memiliki rencana restrukturisasi tenaga kerja yang transparan dan terukur sebelum melakukan PHK juga perlu dipertimbangkan.
Efektivitas program pelatihan dalam skema JKP juga patut dipertanyakan. Pelatihan yang efektif harus relevan dengan kebutuhan industri masa depan, terutama di sektor teknologi dan ekonomi digital. Kerjasama pemerintah dan industri untuk menyediakan pelatihan berbasis keterampilan dan peluang kerja baru sangat penting agar pelatihan tidak sekadar menjadi formalitas.
Dampak Makro dan Strategi Efektif
Dari sisi ekonomi makro, JKP dapat menjaga daya beli masyarakat, khususnya di tengah ketidakpastian ekonomi. Namun, ini harus diimbangi dengan kebijakan penciptaan lapangan kerja baru agar jumlah penerima manfaat JKP tidak terus meningkat tanpa perbaikan fundamental di sektor ketenagakerjaan. Sistem peringatan dini terhadap potensi PHK massal dan insentif pajak bagi perusahaan yang mempertahankan pekerja dapat menjadi strategi yang lebih efektif.
Model berbasis insentif, seperti pengurangan kontribusi BPJS atau subsidi upah parsial bagi perusahaan yang tidak melakukan PHK, juga bisa dipertimbangkan. Hal ini mendorong perusahaan bertanggung jawab menjaga stabilitas ketenagakerjaan, bukan hanya berfokus pada kompensasi pasca-PHK.
Kesimpulan: Menuju Reformasi Ketenagakerjaan Berkelanjutan
Kebijakan ketenagakerjaan ideal harus menyeimbangkan perlindungan pekerja dan fleksibilitas industri. PP Nomor 6 Tahun 2025 merupakan langkah awal, namun keberhasilannya bergantung pada keberlanjutan pendanaan, pengawasan yang ketat, pelatihan yang efektif, dan strategi pencegahan PHK yang komprehensif. Pemerintah perlu memastikan program ini memberikan manfaat jangka panjang, bukan sekadar solusi sementara. Dengan demikian, keberpihakan kepada buruh dapat menjadi strategi ekonomi yang kuat dan berkelanjutan.
Menurut Ketua Umum DPP KSPSI Moh Jumhur Hidayat, "Penerbitan PP Nomor 6 tahun 2025...jauh lebih baik dari PP sebelumnya. Setidaknya ada kepastian buruh menerima uang tunai sebesar 60 persen dari upah terakhir selama 6 bulan. Ketentuan ini dinilai jauh lebih menguntungkan dan akan bermanfaat untuk menjaga daya beli buruh...dan mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi buruh yang kehilangan pekerjaan." Beliau juga menambahkan bahwa pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada kaum buruh, "Membela kaum yang lemah itu bukan berarti menafikkan dunia usaha. Justru sebaliknya bersama-sama dunia usaha membangun kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan memberi manfaat untuk banyak orang."