Bencana Berulang di Sulsel: Walhi Beber Penyebab dan Solusi
Walhi Sulsel ungkap penyebab bencana banjir dan longsor yang terus berulang di Sulawesi Selatan setiap tahunnya, yaitu kerusakan lingkungan dan hilangnya tutupan hutan secara masif, serta mendesak pemerintah untuk menerapkan solusi holistik berbasis benta

Banjir dan longsor kembali melanda beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Bukan kejadian yang pertama, bencana ini menjadi langganan tahunan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan mengungkapkan penyebabnya dan menyerukan solusi konkret. Kejadian ini menelan kerugian hingga Rp1,95 triliun lebih pada tahun lalu.
Kerusakan Lingkungan: Akar Masalah Bencana di Sulsel
Menurut Slamet, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel, angka bencana di Sulsel meningkat drastis. Dari 54 kejadian pada 2014, melonjak menjadi 362 kejadian pada 2024. Penyebab utamanya? Kerusakan lingkungan yang masif.
Ia menjelaskan, hilangnya tutupan hutan menjadi faktor dominan. Luas tutupan hutan Sulsel hanya 1.359.039 hektare (29,70 persen) dari luas provinsi. Kondisi ini menempatkan Sulsel dalam kategori kritis. Penebangan liar, pertambangan di kawasan hutan, alih fungsi lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali ikut memperparah keadaan.
Lebih lanjut, Slamet memaparkan bahwa dari 139 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sulsel, hanya 38 yang sehat (tutupan hutan >30 persen). Sisanya, 101 DAS (72,6 persen) dalam kondisi kritis. Bencana banjir dan longsor di Maros, Gowa, dan Makassar baru-baru ini, yang mendampak ribuan keluarga di belasan kecamatan, merupakan akumulasi dari kerentanan ekologi yang terus meningkat.
Ancaman DAS Kritis dan Solusi Holistik
Kondisi DAS Maros dan Tallo yang kritis menjadi sorotan. Intensitas hujan dan air pasang menyebabkan sungai meluap. Terbatasnya wilayah resapan air, drainase buruk, dan berkurangnya tutupan hutan memperparah situasi. DAS Maros sendiri kehilangan 1.057,90 hektare hutan dalam 30 tahun terakhir.
WALHI Sulsel menekankan pentingnya pendekatan holistik dan berbasis bentang alam dalam pencegahan dan penanganan bencana. Pemerintah, menurut Slamet, harus merevisi strategi pencegahan dan penanganannya. Tidak lagi terbatas pada wilayah administratif, tetapi harus menyeluruh dan berbasis bentang alam. Monitoring, evaluasi, dan penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang merusak lingkungan juga sangat penting.
Kesimpulan: Butuh Aksi Nyata Selamatkan Sulsel
Bencana berulang di Sulawesi Selatan adalah cerminan dari kerusakan lingkungan yang parah. Peningkatan enam kali lipat angka bencana dalam 10 tahun terakhir menunjukkan urgensi penanganan masalah ini. Solusi yang dibutuhkan bukan hanya penanganan pasca-bencana, tetapi pencegahan yang holistik dan berkelanjutan dengan melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat. Perlindungan hutan, pengelolaan DAS yang baik, dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci untuk mencegah bencana serupa di masa depan. Kerugian ekonomi yang mencapai triliunan rupiah juga harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk program-program pelestarian lingkungan.