Efisiensi Infrastruktur: Risiko Kecelakaan Meningkat, Ekonomi Terancam Lesu?
Pengamat kebijakan publik menyoroti potensi peningkatan risiko kecelakaan dan dampak negatif terhadap perekonomian akibat efisiensi anggaran infrastruktur senilai Rp60,46 triliun.

Jakarta, 20 Februari 2024 - Efisiensi anggaran infrastruktur senilai Rp60,46 triliun berpotensi menimbulkan masalah serius, termasuk peningkatan risiko kecelakaan dan dampak negatif pada perekonomian nasional. Hal ini disampaikan oleh beberapa pengamat kebijakan publik, menyusul pengumuman pemangkasan anggaran tersebut.
Pemangkasan anggaran ini menimbulkan kekhawatiran akan buruknya perawatan fasilitas infrastruktur yang ada. Jalan tol, bendungan, dan bangunan publik lainnya berisiko mengalami kerusakan yang dapat menyebabkan kecelakaan. "Akan banyak kerusakan dan dampaknya yang akan lebih mengerikan. Misalnya jebolnya bendungan, rusaknya jalan, sehingga meningkatkan korban kecelakaan," ujar Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik.
Dampaknya meluas tidak hanya pada keselamatan publik, tetapi juga pada sektor ketenagakerjaan dan perekonomian secara keseluruhan. Proyek infrastruktur yang terhenti dan perawatan yang terabaikan berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor konstruksi dan industri terkait.
Dampak Berantai Efisiensi Anggaran Infrastruktur
Agus Pambagio menekankan bahwa efisiensi anggaran infrastruktur berdampak langsung pada proyek-proyek yang sedang berjalan. Pemotongan dana mengakibatkan terhentinya sejumlah proyek dan berkurangnya perawatan fasilitas yang sudah ada. Kondisi ini meningkatkan risiko kerusakan infrastruktur dan berujung pada kecelakaan.
Lebih lanjut, Agus Pambagio memprediksi peningkatan biaya distribusi akibat kerusakan infrastruktur akan memicu inflasi. "Yang jelas biaya akan lebih mahal," tegasnya. Hal ini akan berdampak pada daya beli masyarakat dan memperparah kondisi ekonomi.
Tidak hanya itu, pemangkasan anggaran juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Banyak pekerja di sektor konstruksi dan industri terkait berisiko kehilangan pekerjaan. Hal ini semakin memperburuk situasi ekonomi yang sudah rawan.
Pendapat Para Ahli: Relokasi Anggaran yang Tidak Tepat Sasaran
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, mengamini kekhawatiran tersebut. Ia menyatakan bahwa efisiensi anggaran di bidang infrastruktur berpotensi memperlambat perekonomian nasional. Pemotongan anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja, terutama bagi BUMN karya dan perusahaan swasta yang terlibat dalam proyek infrastruktur nasional.
Senada dengan itu, Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Indef, mengkritik implementasi efisiensi anggaran yang dinilai 'tebang pilih'. Ia menyarankan agar relokasi anggaran difokuskan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan investasi, dan peningkatan ekspor, bukan pada sektor lain yang kurang prioritas.
Menurut Esther, jika pemerintah tidak mengkaji ulang kebijakan efisiensi anggaran ini, ekonomi Indonesia berisiko semakin lesu. Hal ini diperparah dengan potensi peningkatan risiko kecelakaan akibat buruknya perawatan infrastruktur.
Agus Pambagio kembali menegaskan, "Jika tidak dikaji ulang, ekonomi akan lebih lesu." Pernyataan ini menggarisbawahi urgensi evaluasi kebijakan efisiensi anggaran infrastruktur dan perlunya perencanaan yang lebih matang untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.
Kesimpulannya, efisiensi anggaran infrastruktur yang dilakukan pemerintah perlu dikaji ulang secara komprehensif. Potensi peningkatan risiko kecelakaan dan dampak negatif terhadap perekonomian harus dipertimbangkan dengan serius. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan efisiensi tidak mengorbankan keselamatan publik dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.