Kerja Sama RI-Arab Saudi: 600 Ribu Pekerja Migran Indonesia Akan Dikirim Mulai 2025
Indonesia dan Arab Saudi sepakat mengirim 600 ribu pekerja migran Indonesia mulai Maret 2025 dengan upah minimum Rp6,3 juta dan perlindungan asuransi, mengakhiri moratorium pengiriman pekerja migran yang telah berlangsung sejak 2015.

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) akan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Arab Saudi terkait pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI). Penandatanganan MoU ini dijadwalkan pada 20 Maret 2025, menandai berakhirnya moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi yang telah berlangsung sejak tahun 2015. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri KP2MI, Abdul Kadir Karding, di Tangerang.
Sebanyak 600 ribu PMI direncanakan akan diberangkatkan ke Arab Saudi. Dari jumlah tersebut, 60 persen akan bekerja di sektor domestik (rumah tangga), sementara 40 persen lainnya akan ditempatkan di sektor formal. Karding menekankan bahwa PMI yang akan diberangkatkan telah terlatih dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kerja sama bilateral ini bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan PMI di Arab Saudi.
Kesepakatan ini juga menjamin upah minimum bagi PMI sebesar 1.500.000 Riyal Saudi atau sekitar Rp6.300.000. Selain itu, PMI akan mendapatkan perlindungan berupa asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan asuransi ketenagakerjaan. Aspek penting lainnya yang diatur dalam MoU ini adalah pengaturan jam kerja, termasuk jam lembur dan waktu istirahat. Semua PMI akan terdaftar secara resmi di sistem data tenaga kerja Indonesia dan Arab Saudi, memastikan proses penempatan yang lebih tertib dan terkontrol.
Perlindungan PMI dan Penghapusan Praktik Ilegal
Selama ini, moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi diberlakukan karena tingginya angka pengiriman PMI secara ilegal atau non-prosedural. Hal ini menyebabkan banyak permasalahan dan pelanggaran hak-hak PMI. Dengan adanya MoU ini, pemerintah berharap dapat memberantas praktik ilegal tersebut dan melindungi PMI dari eksploitasi.
Menteri Karding menjelaskan bahwa "90-95 persen masalah yang dialami PMI disebabkan oleh keberangkatan yang ilegal atau non-prosedural." Untuk mengatasi hal ini, kerja sama dengan lembaga ketenagakerjaan di Arab Saudi, yang disebut Musanet, akan dilakukan. Musanet akan melakukan seleksi ketat terhadap perusahaan penerima PMI dan mengawasi pembayaran upah melalui rekening resmi, guna memastikan transparansi dan mencegah penipuan.
Dengan adanya pengawasan yang ketat dari Musanet, diharapkan dapat meminimalisir permasalahan yang selama ini terjadi. Sistem ini diharapkan mampu menjamin hak-hak PMI dan memberikan perlindungan yang lebih baik selama bekerja di Arab Saudi.
Potensi Devisa dan Integrasi Data
Keputusan untuk mencabut moratorium ini juga didorong oleh potensi devisa yang cukup besar bagi Indonesia. Diperkirakan, pengiriman PMI ke Arab Saudi dapat menghasilkan devisa hingga Rp31 triliun. Hal ini tentu akan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia.
Integrasi data antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi merupakan salah satu kunci keberhasilan kerja sama ini. Dengan adanya integrasi data, diharapkan dapat mencegah praktik ilegal dan memastikan semua PMI tercatat secara resmi. Hal ini juga akan mempermudah pengawasan dan perlindungan bagi PMI.
Secara keseluruhan, kesepakatan kerja sama ini menandai langkah signifikan dalam melindungi dan meningkatkan kesejahteraan PMI di Arab Saudi. Dengan adanya jaminan upah minimum, perlindungan asuransi, dan pengawasan yang ketat, diharapkan dapat mengurangi permasalahan yang selama ini terjadi dan membuka peluang ekonomi yang lebih baik bagi PMI dan Indonesia.