KPK Tegas: Kerugian BUMN Adalah Kerugian Negara
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa kerugian yang diderita BUMN merupakan kerugian negara berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang BUMN, sehingga direksi, komisaris, dan pengawas BUMN dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Jakarta, 7 Mei 2024 - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penegasan penting terkait kerugian yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyatakan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian negara. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan resmi di Jakarta pada Rabu lalu. Hal ini didasarkan pada sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Undang-Undang BUMN. Penjelasan ini mengakhiri polemik yang sempat terjadi mengenai status kerugian BUMN.
Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013, Nomor 62/PUU-XI/2013, Nomor 59/PUU-XVI/2018, dan Nomor 26/PUU-XIX/2021 menjadi landasan hukum bagi KPK. Putusan-putusan tersebut secara tegas menyatakan bahwa keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk BUMN sebagai derivasi penguasaan negara. Oleh karena itu, segala peraturan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh bertentangan dengan tafsir konstitusi MK.
Lebih lanjut, Setyo menekankan bahwa konsekuensi dari penegasan ini adalah pertanggungjawaban pidana bagi direksi, komisaris, dan pengawas BUMN atas kerugian keuangan negara. Hal ini berlaku khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi. Namun, pertanggungjawaban tersebut tetap berpedoman pada prinsip hukum yang berlaku, termasuk business judgment rule (BJR).
Pertanggungjawaban Pejabat BUMN atas Kerugian Negara
Meskipun kerugian BUMN dianggap sebagai kerugian negara, KPK menjelaskan bahwa pejabat BUMN hanya dapat dimintai pertanggungjawaban jika terdapat perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan prinsip business judgment rule (BJR). Hal ini merujuk pada Pasal 3Y dan 9F UU BUMN. Penyimpangan tersebut dapat berupa fraud, suap, tidak bertindak dengan iktikad baik, konflik kepentingan, atau kelalaian dalam mencegah kerugian negara.
Penjelasan ini sekaligus memberikan konteks atas Pasal 4B UU BUMN yang sebelumnya berbunyi, “Keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN.” Pernyataan ini sempat memicu kajian lebih lanjut oleh KPK terkait status kerugian BUMN. KPK menjelaskan bahwa meskipun terdapat pasal tersebut, putusan MK dan konteks UU BUMN secara keseluruhan memastikan bahwa kerugian BUMN tetap masuk dalam kategori kerugian negara.
Pasal 3Y dan 9F UU BUMN memberikan perlindungan hukum bagi pejabat BUMN. Mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaian mereka. Syarat lainnya adalah mereka telah bertindak dengan iktikad baik dan hati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, dan tidak memperoleh keuntungan pribadi.
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijadikan acuan KPK menegaskan bahwa kekayaan negara, termasuk aset dan keuangan BUMN, merupakan bagian integral dari keuangan negara. Oleh karena itu, kerugian yang dialami BUMN secara langsung berdampak pada keuangan negara dan dapat dikenakan sanksi hukum yang berlaku.
KPK juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN. Dengan penegasan ini, diharapkan dapat mencegah terjadinya korupsi dan kerugian negara di masa mendatang. Pengelolaan BUMN yang baik dan bertanggung jawab akan melindungi aset negara dan memastikan keberlanjutan perusahaan.
Kesimpulannya, penegasan KPK ini memberikan kepastian hukum terkait pertanggungjawaban atas kerugian BUMN. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan akuntabilitas pengelolaan BUMN di Indonesia.