UU BUMN 2025: Status Penyelenggara Negara dan Implikasi Kekebalan Hukumnya
UU BUMN 2025 menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya status penyelenggara negara bagi direksi BUMN dan dampaknya pada penegakan hukum.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sorotan utama media massa, memicu perdebatan mengenai potensi implikasinya terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kekhawatiran utama adalah apakah UU ini akan menghalangi KPK dalam menindak direksi atau komisaris BUMN yang terlibat dalam tindakan korupsi. Perubahan status direksi BUMN dan ketentuan mengenai aset BUMN menjadi poin krusial dalam perdebatan ini.
UU BUMN 2025 mengatur bahwa modal negara dalam BUMN dianggap sebagai kekayaan BUMN yang menjadi milik dan tanggung jawab BUMN sepenuhnya. Selain itu, keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN juga menjadi tanggung jawab BUMN itu sendiri. Implikasi lebih lanjut adalah bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa KPK tidak akan memiliki wewenang untuk menindak direksi BUMN yang melakukan korupsi.
Namun, penting untuk melihat isu ini dari perspektif yang berbeda. Status penyelenggara negara telah melekat pada direksi dan komisaris BUMN sejak UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU ini mendefinisikan penyelenggara negara sebagai pejabat yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, serta pejabat lain yang terkait dengan penyelenggaraan negara sesuai peraturan perundang-undangan.
Perubahan Status Penyelenggara Negara dalam UU BUMN 2025
UU 28/1999 secara rinci menyebutkan siapa saja yang termasuk dalam kategori penyelenggara negara, termasuk pejabat negara pada lembaga tertinggi dan tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis. Direktur BUMN, bersama dengan komisaris dan pejabat struktural lainnya, termasuk dalam kategori “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis”.
UU 28/1999 memberikan status penyelenggara negara kepada empat belas jabatan dengan tujuan membangun sistem penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Inisiatif ini merupakan bagian dari gerakan reformasi Indonesia pada masa itu. Dari daftar tersebut, hampir semua jabatan atau fungsi yang ada bukanlah penyelenggara bisnis, kecuali para eksekutif BUMN.
Fakta bahwa eksekutif BUMN seolah-olah “terselip” dalam daftar pejabat yang dianggap sebagai penyelenggara negara menjadi perhatian tersendiri. Sebagian besar dari jabatan lain yang disebutkan adalah bagian dari institusi pemerintahan dan negara, yang terdiri dari pejabat negara dan pemerintah daerah, aparatur sipil negara, aparat penegak hukum, pejabat lembaga pendidikan, dan bank sentral. Semua kategori ini adalah entitas negara yang tidak berorientasi pada keuntungan, berbeda dengan BUMN yang memiliki tujuan bisnis untuk mencari keuntungan.
Implikasi Terhadap Laporan Harta Kekayaan (LHKPN)
Meskipun ada kekhawatiran terkait UU BUMN 2025, penghapusan status “penyelenggara negara” dari direktur dan komisaris BUMN sebenarnya dapat dianggap wajar. Hal ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa BUMN kini diposisikan sebagai aset yang terpisah dari aset negara dalam konteks pemerintahan. Jika UU 1/2025 tidak memperkenalkan konsep baru ini, kekhawatiran akan penghapusan status “penyelenggara negara” akan semakin besar.
Terkait LHKPN, meskipun direksi/komisaris BUMN tidak lagi wajib membuat dan menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara dalam sistem LHKPN KPK, mereka tetap dapat diwajibkan untuk membuat laporan yang substansinya sama. Rezim hukum BUMN sangat ketat terhadap para direktur dan komisaris, sehingga kewajiban membuat laporan harta kekayaan sangat mungkin diterapkan.
LHKP BUMN dapat diintegrasikan sebagai bagian dari Kontrak Manajemen yang wajib ditandatangani oleh calon anggota direksi BUMN sebelum menjabat. Kontrak Manajemen saat ini (Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-3/MBU/03/2003) menempatkan komitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagai prioritas utama direktur terhadap Menteri BUMN.
Kemandirian BUMN dan Penegakan Hukum
Konsep-konsep baru dalam UU BUMN 2025, seperti keuntungan atau kerugian BUMN menjadi tanggung jawab BUMN dan anggota Direksi bukan merupakan penyelenggara negara, bertujuan untuk menegaskan bahwa BUMN harus beroperasi secara mandiri sesuai prinsip bisnis murni. Hal ini berbeda dengan tata kelola pemerintahan yang cenderung lambat dan kurang memiliki rasa kepemilikan yang kuat.
Tujuan utama dari konsep-konsep ini adalah agar BUMN menolak intervensi pemerintah dan menerapkan cara kerja yang sesuai dengan entitas bisnis. Dengan demikian, BUMN dapat beroperasi dengan lebih gesit dan menghasilkan laba maksimal demi kesejahteraan rakyat. Poin pentingnya adalah kemandirian BUMN dari manajemen administrasi pemerintahan, bukan untuk membuat direksi BUMN kebal hukum.
Intensi dari UU BUMN 2025 bukanlah untuk melindungi direksi BUMN yang melakukan kesalahan hingga menyebabkan kerugian. Tidak ada ketentuan dalam UU ini yang dapat diartikan sebagai pemutusan hubungan pertanggungjawaban antara BUMN dan negara sebagai pemilik modal. BUMN tetap merupakan badan usaha milik negara yang wajib taat terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.
Secara keseluruhan, UU BUMN 2025 membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan BUMN, dengan fokus pada kemandirian dan efisiensi bisnis. Meskipun ada kekhawatiran terkait potensi dampak negatifnya, UU ini juga membuka peluang bagi BUMN untuk berkembang dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian negara.