Pejabat BUMN Tetap Wajib Lapor LHKPN, Tegaskan KPK
KPK menegaskan pejabat BUMN tetap penyelenggara negara dan wajib lapor LHKPN serta melaporkan gratifikasi, meskipun UU BUMN terbaru menyatakan sebaliknya.

Jakarta, 7 Mei 2024 - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap berstatus penyelenggara negara dan berkewajiban melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta melaporkan penerimaan gratifikasi. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua KPK, Setyo Budiyanto, di Jakarta, Rabu lalu, menanggapi pasal kontroversial dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN.
Pernyataan tegas KPK ini muncul sebagai respons atas Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Pernyataan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Perbedaan interpretasi inilah yang menjadi sorotan. KPK berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, yang mendefinisikan penyelenggara negara secara luas, mencakup pejabat yang memiliki fungsi strategis dalam penyelenggaraan negara. Definisi ini, menurut KPK, mencakup direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya di BUMN dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Status Pejabat BUMN
Ketua KPK menjelaskan bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 secara jelas mendefinisikan penyelenggara negara. Definisi ini mencakup pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, serta pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Penjelasan Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 bahkan secara spesifik menyebutkan bahwa direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya di BUMN termasuk dalam kategori ini.
Setyo Budiyanto menekankan bahwa KPK berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 karena undang-undang tersebut merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurutnya, Pasal 9G Undang-Undang BUMN dapat dimaknai sebagai penegasan bahwa status penyelenggara negara tidak hilang ketika seseorang menduduki posisi di BUMN.
Lebih lanjut, ia menegaskan, "Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999." Kesimpulan ini memberikan kepastian hukum dan memperkuat upaya pencegahan korupsi di lingkungan BUMN.
Implikasi Keputusan KPK
Keputusan KPK ini memiliki implikasi penting bagi transparansi dan akuntabilitas di lingkungan BUMN. Kewajiban pelaporan LHKPN dan pelaporan gratifikasi merupakan instrumen penting dalam mencegah dan mendeteksi potensi korupsi. Dengan ditegaskannya status pejabat BUMN sebagai penyelenggara negara, maka kewajiban tersebut tetap berlaku dan harus dipatuhi.
Langkah KPK ini diharapkan dapat memperkuat integritas dan tata kelola perusahaan di BUMN. Transparansi aset dan penerimaan gratifikasi akan membantu mencegah terjadinya penyimpangan dan memastikan penggunaan dana negara secara bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi BUMN.
Ke depan, diharapkan akan ada sinkronisasi yang lebih baik antara berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan BUMN dan penyelenggara negara. Hal ini penting untuk menghindari ambiguitas dan memastikan kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat.
Dengan penegasan KPK ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada seluruh pejabat BUMN terkait kewajiban pelaporan LHKPN dan gratifikasi. Kepatuhan terhadap aturan ini merupakan kunci dalam menjaga integritas dan mencegah terjadinya korupsi di lingkungan BUMN.