Perempuan: Pilar Demokrasi Indonesia, Peran dan Tantangannya
Pakar Hukum Tata Negara Undip soroti peran krusial perempuan dalam demokrasi Indonesia, sekaligus tantangan yang masih dihadapi untuk mencapai representasi yang lebih adil.

Semarang, 21 April 2024 - Prof. Dr. Lita Tyesta, pakar hukum tata negara Universitas Diponegoro Semarang, menekankan peran vital perempuan dalam pesta demokrasi Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam Rapat Evaluasi dan Publikasi Kinerja Bawaslu Kota Semarang, Senin lalu, yang mengangkat tema 'Refleksi Peran Perempuan dalam Meningkatkan Kualitas Pemilihan Serentak 2024'. Beliau mengingatkan pentingnya partisipasi perempuan yang cerdas dan waspada agar tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Prof. Lita menjelaskan bahwa populasi perempuan yang besar di Indonesia membuat mereka rentan dimanfaatkan dalam politik praktis. Oleh karena itu, perempuan perlu memiliki keberanian dan kecakapan untuk menolak manipulasi demi kepentingan politik sesaat. Beliau juga mengajak kaum hawa untuk menjadi teladan bagi generasi muda, mengacu pada semangat Kartini sebagai role model perempuan Indonesia.
Sayangnya, masih banyak hambatan yang dihadapi perempuan dalam berpartisipasi aktif di dunia politik. Hambatan tersebut meliputi stereotip gender, budaya patriarki, kurangnya dukungan dan jaringan, kekerasan dan pelecehan berbasis gender, serta kurangnya kepercayaan diri.
Hambatan Partisipasi Perempuan dalam Politik
Prof. Lita menjabarkan beberapa hambatan yang masih menghalangi perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam politik. Stereotip gender yang masih kuat di masyarakat, seperti anggapan bahwa perempuan harus lemah lembut, menjadi salah satu kendala utama. Budaya patriarki juga turut memperkuat ketidaksetaraan gender dalam ranah politik.
Kurangnya dukungan dan jaringan, serta maraknya kekerasan dan pelecehan berbasis gender, juga menjadi faktor penghambat. Perempuan seringkali menghadapi tantangan dalam membangun jaringan dan mendapatkan dukungan yang memadai. Ketakutan akan kekerasan dan pelecehan juga dapat membuat perempuan enggan untuk terlibat aktif dalam politik.
Selain itu, kurangnya kepercayaan diri juga menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Banyak perempuan yang merasa tidak mampu atau tidak layak untuk terjun ke dunia politik. Hal ini perlu diatasi dengan memberikan pelatihan dan dukungan yang memadai agar perempuan lebih percaya diri dalam mengekspresikan pendapat dan aspirasinya.
Suara Perempuan: Kunci Demokrasi yang Berkualitas
Maria Goreti Jutari Risma Hanjayani, anggota Bawaslu Kota Semarang, menambahkan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik sangat penting untuk menciptakan demokrasi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Beliau menyoroti pentingnya suara perempuan dalam pengambilan keputusan politik.
Meskipun sistem demokrasi Indonesia telah menetapkan target keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen, angka tersebut belum tercapai. Data menunjukkan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dari tahun ke tahun, namun masih jauh dari target yang ditetapkan.
Berikut data keterwakilan perempuan di DPR sejak Pemilu 1999: 9 persen (1999), 11,5 persen (2004), 18 persen (2009), 17,3 persen (2014), 20,5 persen (2019), dan 22,1 persen (2024). Meskipun terjadi peningkatan, angka ini masih jauh dari target 30 persen.
Maria menekankan perlunya upaya lebih lanjut untuk mencapai target tersebut. Partisipasi perempuan yang lebih besar dalam politik akan menghasilkan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi perempuan, serta menciptakan sistem demokrasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Peningkatan partisipasi perempuan dalam proses demokrasi merupakan kunci untuk menciptakan sistem politik yang lebih representatif dan responsif terhadap kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Perempuan tidak hanya sebagai objek, tetapi juga subjek penting dalam pembangunan demokrasi Indonesia yang lebih baik.