Program Koperasi Desa Merah Putih: Harapan Makmur Desa atau Risiko Politik?
Program Koperasi Desa Merah Putih diresmikan untuk mendorong perekonomian pedesaan, namun memicu debat tentang otonomi desa dan potensi penyalahgunaan dana.

Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih di tengah tantangan ekonomi global dan kesenjangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Program ini bertujuan mendirikan koperasi di 70.000 hingga 80.000 desa di Indonesia, dengan masing-masing koperasi menerima dana Rp3 miliar hingga Rp5 miliar. Inisiatif ini bukan hanya kebijakan ekonomi, tetapi juga manifestasi nyata semangat gotong royong bangsa Indonesia, memanfaatkan kekuatan kolektif masyarakat desa untuk menciptakan kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada pihak eksternal. Kebijakan ini diharapkan membuka peluang besar bagi masyarakat desa untuk keluar dari kemiskinan.
Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur pedoman pembentukan koperasi desa tersebut. Surat edaran yang ditandatangani pada 18 Maret 2025 ini ditujukan kepada gubernur, bupati, wali kota, kepala dinas koperasi, dan kepala desa di seluruh Indonesia sebagai acuan pelaksanaan program nasional ini. Periode Maret hingga Juni 2025 ditetapkan sebagai tenggat waktu pembentukan koperasi desa.
Keberhasilan program ini bergantung pada kolaborasi kuat antara pemerintah, kepala desa, dan masyarakat. Koperasi diharapkan menjadi alat transformasi sosial ekonomi yang mengantarkan desa menuju masa depan yang lebih sejahtera dan mandiri. Namun, pertanyaan tentang apakah kebijakan ini akan memperkuat otonomi desa atau justru meningkatkan kontrol pemerintah pusat telah memicu perdebatan.
Potensi dan Tantangan Koperasi Desa Merah Putih
Kekhawatiran muncul terkait transfer dana desa ke koperasi nasional, yang dikhawatirkan akan mengurangi kendali desa atas kebijakan ekonomi mereka sendiri. Namun, jika dikelola dengan transparan, koperasi dapat menjadi alat pemberdayaan yang memperkuat posisi desa dalam menentukan arah pembangunannya. Kunci keberhasilan terletak pada memastikan program koperasi tetap berakar pada kebutuhan lokal dan tidak menjadi program top-down dari pemerintah pusat.
Kepala desa memiliki peran strategis dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan ini. Jika dijalankan secara adil, koperasi dapat menjadi ruang kolaborasi antara pemerintah pusat dan desa, di mana desa memiliki kesempatan lebih besar untuk mengelola dana mereka sendiri dan membangun kemandirian ekonomi tanpa intervensi politik yang berlebihan. Meskipun demikian, risiko penyalahgunaan dana koperasi untuk kepentingan politik tertentu tetap ada, seperti pada program-program berbasis anggaran negara lainnya.
Sistem monitoring yang baik, misalnya melalui partisipasi aktif masyarakat dan digitalisasi laporan keuangan, sangat penting untuk memastikan transparansi dalam pengelolaan dana desa. Hal ini dapat menciptakan model baru transparansi dalam pengelolaan dana desa di Indonesia.
Sosialisasi dan Sinkronisasi dengan BUMDes
Lili Romli, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menekankan pentingnya sosialisasi program Koperasi Desa Merah Putih dan pemahaman aspirasi masyarakat untuk mencegah resistensi dari kepala desa. "Ini sesuai dengan hakikat koperasi yang bersifat sukarela dan berdasarkan kerjasama," jelasnya. Pembentukan koperasi juga harus selaras dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diamanatkan oleh Undang-Undang Desa.
Romli menambahkan bahwa Koperasi Desa Merah Putih dapat menjadi bagian dari BUMDes, dengan pendanaan yang berasal dari dana keanggotaan BUMDes. Langkah ini memastikan integrasi program dengan struktur ekonomi desa yang sudah ada.
Manfaat dan Dampak Jangka Panjang
Terlepas dari tantangan politik, program Koperasi Desa Merah Putih menawarkan manfaat nyata bagi masyarakat. Pertama, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui akses yang lebih mudah terhadap modal untuk mengembangkan pertanian, peternakan, dan industri kecil tanpa harus bergantung pada pinjaman berbunga tinggi. Kedua, penguatan ketahanan ekonomi desa sebagai solusi jangka panjang untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara desa dan kota, serta menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Ketiga, program ini mempromosikan semangat gotong royong, menjadi simbol persatuan dan kerjasama di tingkat desa. Keempat, terbukanya ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat, memberikan forum baru bagi diskusi mengenai arah pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dibuat untuk kepentingan masyarakat dan bukan sekadar agenda politik.
Sukses atau tidaknya program ini bergantung pada manajemennya. Dengan pendekatan yang transparan dan partisipatif yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, koperasi dapat meletakkan warisan penting bagi pembangunan desa di Indonesia. Kolaborasi pemerintah, kepala desa, dan masyarakat sangat krusial untuk memastikan koperasi membawa perubahan positif. Desa yang kuat akan menciptakan Indonesia yang kuat. Program Koperasi Desa Merah Putih dapat menjadi langkah awal menuju masa depan yang lebih mandiri dan sejahtera.