Utilisasi Industri Keramik Indonesia Naik 75 Persen di Kuartal I 2025
Industri keramik domestik menunjukkan peningkatan utilisasi hingga 75 persen di kuartal I 2025, berkat dukungan kebijakan pemerintah, meskipun terkendala distribusi gas.

Industri keramik Indonesia menunjukkan kabar baik di awal tahun 2025. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) melaporkan peningkatan utilisasi sektor keramik domestik hingga 75 persen pada kuartal I 2025. Peningkatan ini menandai perbaikan signifikan dibandingkan tahun 2024 yang hanya mencapai 65 persen. Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, mengumumkan kabar positif ini di Jakarta pada Kamis lalu, menjelaskan dampak kebijakan pemerintah dan tantangan yang masih dihadapi.
Peningkatan utilisasi ini tidak terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah berupa Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), dan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk sektor keramik. Kebijakan-kebijakan tersebut terbukti efektif melindungi dan mendorong pertumbuhan industri keramik dalam negeri. Namun, Asaki memproyeksikan potensi peningkatan lebih lanjut hingga 85 persen, jika kendala distribusi gas dapat diatasi.
Kendala utama yang dihadapi saat ini adalah distribusi gas yang belum optimal, terutama di Jawa Timur. Meskipun seharusnya tidak ada kendala suplai gas di wilayah tersebut, terdapat gangguan di hulu yang diperkirakan baru dapat teratasi pada bulan Oktober. Hal ini menjadi perhatian serius bagi Asaki, mengingat gas merupakan komponen penting dalam proses produksi keramik.
Dukungan Kebijakan Pemerintah dan Tantangan Distribusi Gas
Asaki berharap pemerintah dapat segera mengimplementasikan subsidi gas industri melalui Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sesuai regulasi. Edy Suyanto menekankan pentingnya penetapan harga gas bumi sebesar 7 dolar AS atau Rp115.000 per MMBTU untuk bahan bakar, dan 6,5 dolar AS atau Rp107.000 per MMBTU untuk bahan baku. Menurutnya, "Terlebih untuk Jawa bagian Timur yang seharusnya tidak ada kendala tentang suplai gas namun dilaporkan adanya gangguan di hulu yang membutuhkan waktu perbaikan sampai dengan Oktober," katanya.
Sebelumnya, Asaki telah menyatakan bahwa kebijakan subsidi HGBT berpotensi menurunkan biaya komponen energi hingga 23-26 persen dari total modal produksi. Hal ini akan sangat membantu meningkatkan daya saing industri keramik Indonesia di pasar domestik maupun internasional. Subsidi ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang luas, termasuk investasi baru, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan kontribusi pajak kepada negara.
Program HGBT sendiri menargetkan tujuh subsektor industri, termasuk pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet, dengan biaya yang ditetapkan sebesar 6,5 dolar AS per MMBTU. Implementasi program ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing industri-industri strategis di Indonesia.
Dampak Positif Kebijakan HGBT
Edy Suyanto menambahkan bahwa "Kehadiran HGBT telah memberikan multiplier effect yang besar seperti investasi baru dan penyerapan jumlah tenaga kerja disamping kontribusi pembayaran pajak kepada negara." Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan HGBT tidak hanya memberikan manfaat langsung bagi industri keramik, tetapi juga berdampak positif pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Dengan teratasinya kendala distribusi gas, diharapkan utilisasi industri keramik dapat mencapai potensi maksimalnya dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian Indonesia.
Secara keseluruhan, peningkatan utilisasi industri keramik hingga 75 persen di kuartal I 2025 merupakan kabar positif bagi perekonomian Indonesia. Namun, tantangan masih ada, terutama terkait distribusi gas. Dukungan pemerintah melalui kebijakan HGBT yang tepat dan efektif sangat penting untuk memastikan pertumbuhan berkelanjutan sektor industri keramik ini dan mencapai potensi maksimalnya sebesar 85 persen.