Hasto Kristiyanto Pertanyakan P21 Kasus Korupsi: Proses Dipaksa dan Langgar HAM?
Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mempertanyakan proses penetapan P21 kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang dianggap dipaksakan dan melanggar HAM.

Jakarta, 14 Maret 2024 - Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, menyampaikan keberatannya terkait proses penetapan P21 (penuntutan) dalam kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjeratnya. Dalam pidato di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat lalu, Hasto menyatakan proses tersebut dipaksakan dan mengabaikan hak-haknya sebagai tersangka. Ia juga mempertanyakan percepatan proses P21 yang hanya memakan waktu dua minggu, jauh lebih cepat dari rata-rata 120 hari di KPK.
Hasto menjelaskan bahwa dirinya telah mengajukan saksi-saksi yang meringankan, namun KPK tidak pernah memeriksa mereka. Lebih lanjut, ia mencatat setidaknya 20 perbedaan keterangan antara surat dakwaan dengan keterangan saksi dan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kondisi kesehatan Hasto yang sedang sakit radang tenggorokan dan kram perut saat proses P21 juga diabaikan. "Tetapi itu pun tetap dipaksakan sehingga hak-hak saya sebagai terdakwa telah sengaja dilanggar dan ini adalah suatu pelanggaran HAM yang sangat serius," tegas Hasto.
Kasus ini, menurut Hasto, tidak menimbulkan kerugian negara dan terkesan memproses kembali perkara yang sudah inkrah. Ia menilai adanya muatan kriminalisasi politik, menciptakan ketidakpastian hukum, dan bertentangan dengan fakta hukum yang telah diputuskan pengadilan sebelumnya. "Ini terjadi akibat abuse of power," tandasnya.
Tuduhan dan Kronologi Kasus
Hasto Kristiyanto didakwa mengatur dan mengendalikan advokat Donny Tri Istiqomah untuk melobi Wahyu Setiawan, anggota KPU periode 2017-2022, agar menetapkan Harun Masiku sebagai calon anggota DPR terpilih dari Dapil Sumatera Selatan I. Ia juga diduga mengatur Donny untuk mengambil dan mengantarkan uang suap kepada Wahyu melalui Agustiani Tio Fridelina, mantan narapidana kasus suap PAW Harun Masiku.
Selain itu, Hasto juga ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara perintangan penyidikan (obstruction of justice). Proses P21 yang dianggap dipaksakan dan berlangsung cepat ini menjadi sorotan utama dalam penyampaian keberatan Hasto. Ia menekankan pelanggaran HAM yang dialaminya dan mempertanyakan motif di balik percepatan proses tersebut.
Hasto secara tegas menyatakan bahwa kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi politik. Ia menyoroti ketidaksesuaian antara dakwaan dengan fakta-fakta hukum yang telah diputuskan pengadilan sebelumnya. Menurutnya, proses hukum yang dijalaninya menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang perlu dipertanyakan.
Percepatan Proses P21 dan Implikasinya
Salah satu poin penting yang dikritik Hasto adalah percepatan proses P21 yang hanya berlangsung selama dua minggu. Hal ini sangat kontras dengan rata-rata waktu proses P21 di KPK yang mencapai 120 hari. Perbedaan waktu yang signifikan ini menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik percepatan tersebut dan apakah ada upaya untuk mengabaikan hak-hak tersangka.
Hasto juga menyoroti ketidakhadiran saksi-saksi yang meringankan yang telah diajukan. Ketidakhadiran saksi-saksi tersebut dinilai sebagai bentuk pengabaian hak-hak tersangka dan berpotensi menghambat proses pengungkapan kebenaran dalam kasus ini. Ia berharap agar proses hukum selanjutnya dapat berjalan lebih adil dan transparan.
Keberatan Hasto terhadap proses P21 ini menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan transparansi proses penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini juga menjadi sorotan terkait dugaan kriminalisasi politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Publik menantikan perkembangan selanjutnya dari kasus ini dan berharap agar kebenaran dapat terungkap.
Proses hukum yang sedang dijalani Hasto Kristiyanto ini menjadi perhatian publik dan memicu diskusi luas terkait transparansi dan keadilan dalam sistem peradilan Indonesia. Pernyataan Hasto yang menuding adanya kriminalisasi politik dan abuse of power tentu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya.
Kesimpulan
Pidato Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta menyoroti berbagai kejanggalan dalam proses P21 kasus yang menjeratnya. Ia mempertanyakan percepatan proses, pengabaian saksi meringankan, dan dugaan pelanggaran HAM. Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar tentang independensi hukum dan dugaan kriminalisasi politik di Indonesia.