Hasto Kristiyanto Ajukan Pemindahan Penahanan, Alasan Terbatasnya Akses Kunjungan
Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengajukan pemindahan penahanan dari Rutan KPK ke Rutan Salemba karena terbatasnya akses kunjungan kolega.

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, tengah menjadi sorotan setelah melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan pemindahan tempat penahanan. Permohonan tersebut dilayangkan pada Jumat, 21 Maret 2024, di Pengadilan Tipikor Jakarta, dengan tujuan memindahkan Hasto dari Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat. Permohonan ini diajukan karena adanya kendala akses kunjungan bagi kolega dan sahabat Hasto selama ditahan di Rutan KPK.
Penasihat hukum Hasto, Ronny Talapessy, menjelaskan bahwa di Rutan KPK, akses kunjungan bagi kliennya sangat terbatas. Hanya pengacara dan keluarga yang diizinkan menjenguk. Hal ini disampaikan Ronny saat sidang pembacaan nota keberatan atau eksepsi. Ia mengatakan, "Hanya dibatasi untuk pengacara dan keluarga, sedangkan mohon izin yang mulia, bahwa Pak Hasto memiliki banyak kolega atau sahabat yang ingin juga memberi semangat."
Permintaan pemindahan penahanan ini pun mendapat tanggapan dari Hakim Ketua Rios Rahmanto. Hakim Ketua menyatakan bahwa jika alasan permohonan hanya terkait dengan pembatasan kunjungan, maka penasihat hukum dapat mengajukan permohonan izin kunjungan secara detail kepada majelis hakim. Hakim menekankan pentingnya mencantumkan secara rinci identitas para kolega yang ingin mengunjungi Hasto untuk pertimbangan keamanan. Hakim Ketua menambahkan, "Artinya mungkin tidak semuanya diizinkan, kalau semuanya dibiarkan nanti otomatis dari aspek keamanan perlu dipertimbangkan. Kalau memang jelas siapa yang mengajukan, mungkin bisa majelis pertimbangkan."
Kasus Dugaan Perintangan Penyidikan dan Suap
Hasto Kristiyanto didakwa terlibat dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan pemberian suap terkait dengan perkara korupsi yang melibatkan Harun Masiku sebagai tersangka. Rentang waktu yang didakwakan adalah antara tahun 2019 hingga 2024.
Dakwaan menyebutkan Hasto diduga memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk menenggelamkan telepon genggam milik Harun ke dalam air. Perintah ini diduga diberikan setelah terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan, anggota KPU periode 2017-2022.
Tidak hanya itu, Hasto juga diduga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk melakukan hal serupa terhadap telepon genggamnya sendiri sebagai upaya antisipasi terhadap kemungkinan penyelidikan lebih lanjut oleh KPK. Tindakan ini dianggap sebagai upaya untuk menghalangi proses penyidikan yang sedang berjalan.
Selain perintangan penyidikan, Hasto juga didakwa memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura (sekitar Rp600 juta) kepada Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku. Uang tersebut diduga diberikan agar Wahyu Setiawan mengupayakan persetujuan KPU terhadap pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih Dapil Sumatera Selatan I, Riezky Aprilia, untuk menggantikan Harun Masiku.
Ancaman Pidana
Atas perbuatan yang didakwakan, Hasto Kristiyanto terancam pidana berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sidang kasus ini masih terus berlanjut, dan permohonan pemindahan penahanan Hasto Kristiyanto masih menunggu keputusan dari majelis hakim. Publik pun menantikan perkembangan selanjutnya dari proses hukum yang sedang dijalani oleh Sekjen DPP PDI Perjuangan tersebut.
Proses hukum yang dihadapi Hasto Kristiyanto ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga integritas dan menghindari tindakan yang dapat menghambat proses penegakan hukum.