Dugaan Palsu Surat Paslon Pilgub Papua: Ahli Minta KPU Bertindak Tegas
Ahli hukum menilai KPU Papua seharusnya menolak pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang diduga menggunakan surat keterangan palsu dalam pendaftaran Pilkada 2024, dan meminta MK mendiskualifikasi paslon tersebut.

Jakarta, 10 Februari 2025 - Polemik Pilkada Papua 2024 memasuki babak baru. Sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan fakta mengejutkan terkait dugaan pemalsuan surat oleh pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Yermias Bisai dan Benhur Tomi Mano. Mantan Ketua Bawaslu dan DKPP RI, Muhammad Alhamid, serta mantan Hakim Konstitusi, Aswanto, memberikan kesaksian yang menguatkan dugaan tersebut.
Dugaan Pelanggaran dan Tindakan KPU Papua
Muhammad Alhamid, ahli dari pihak pemohon (paslon nomor urut 2), menyatakan KPU Papua seharusnya tidak meloloskan paslon nomor urut 1. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 dengan tegas mengatur pentingnya persyaratan calon kepala daerah, termasuk integritas dan validitas dokumen. KPU seharusnya menolak Yermias Bisai karena diduga menggunakan surat keterangan palsu dari Pengadilan Negeri (PN) Jayapura.
“Seharusnya, sewajibnya, idealnya KPU Papua menetapkan paslon nomor urut 1 tersebut tidak memenuhi syarat dan tidak ditetapkan sebagai peserta pemilihan. Namun sayangnya, KPU tidak melakukan hal tersebut,” tegas Alhamid.
Alhamid menyayangkan sikap KPU Papua yang terkesan lengah. Penggunaan dua surat keterangan yang diduga palsu, satu untuk menyatakan tidak dicabut hak pilihnya dan satu lagi menyatakan tidak pernah dipidana, seharusnya menjadi perhatian serius. KPU seharusnya lebih teliti dan tegas dalam memeriksa berkas persyaratan calon.
Konsekuensi Hukum dan Etik
Aswanto, ahli lainnya yang dihadirkan pemohon, memberikan pandangan yang lebih luas. Ia menilai tindakan KPU Papua meloloskan calon yang diduga menggunakan surat keterangan palsu dapat dijerat dengan beberapa pasal hukum. Tidak hanya pelanggaran pidana pemilu dan pidana umum, tetapi juga pelanggaran etik.
“Pilkada tidak bisa dianggap berhasil hanya karena telah menghasilkan pemenang, jika prosesnya melanggar hukum,” ujar Aswanto, menekankan pentingnya integritas proses pemilihan kepala daerah.
Kronologi dan Tuntutan Pemohon
Perkara ini bermula dari laporan paslon nomor urut 2, Matius Fakhiri dan Aryoko Rumaropen, yang mendalilkan Yermias Bisai menggunakan surat keterangan palsu dari PN Jayapura. Meskipun KPU Papua telah mengklarifikasi kebenaran surat tersebut kepada Samuel Fritsko Jenggu (nama yang tertera di surat), Yermias tetap dinyatakan lolos pada 15 Agustus 2024. Yermias kemudian mengganti surat keterangannya setelah masa perbaikan berkas telah berakhir.
Atas dasar itu, Matius-Aryoko meminta MK membatalkan Keputusan KPU Provinsi Papua Nomor 250 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pilgub Papua, khususnya perolehan suara pasangan Benhur-Yermias. Mereka juga meminta MK mendiskualifikasi pasangan tersebut.
Kesimpulan
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan transparansi dalam proses penyelenggaraan Pilkada. Peran KPU sebagai penyelenggara pemilu yang independen dan adil sangat krusial. Putusan MK nanti akan menjadi preseden penting bagi penyelenggaraan pemilu di masa mendatang, memastikan proses yang bersih dan bebas dari kecurangan.
Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya pengawasan ketat terhadap proses pencalonan, agar Pilkada dapat berjalan sesuai aturan dan menghasilkan pemimpin yang kredibel.